Rabu, 06 November 2013

Cover Buku




Sejarah TIGABINANGA

Dan

Riwayat Hidup
NGADANG SEBAYANG
Kepala Kampung 46 tahun








Jumat, 01 November 2013

DAFTAR ISI


PENDAHULUAN

BAGIAN PERTAMA : SEJARAH KOTA TIGABINANGA 
BAB  I   :   ASAL USUL KOTA TIGABINANGA
1. Asal kata “Tiga Binanga”
2. Penduduk Awal Tigabinanga

BAB II   :   PERESMIAN KOTA TIGABINANGA
                  1. Peresmian Tigabinanga dan Pemilihan Penghulu
                  2. Relokasi Pasar dan Penataan Kota
                  3. Pengembangan Kota

BAB III :   KERJASAMA ANTAR PENDUDUK
   1. ”Orang Kenjulu”  dan Dialek
   2. Pertambahan Penduduk

BAB IV  :   TIGABINANGA DAN PERJUANGAN
   1. Kedudukan Tigabinanga
   2. Surat Penghargaan dari Wakil Presiden RI
   3. Tigabinanga menjadi Ibukota Kabupaten Karo dan  Keresidenan Sumatera Timur
   4. Negara Sumatera Timur (NST)

BAB V   :   GEMPURAN KE NEGARA SUMATERA TIMUR
                     1.     Pembagian Daerah Pertempuran 1 Mei 1949
                     2.     Pertempuran Bertah 7 Mei 1949

BAGIAN KEDUA : RIWAYAT HIDUP NGADANG SEBAYANG
BAB VI  :   BIODATA
                     1.     Tempat/Tahun lahir dan domisili
                 2. Tigabinanga diresmikan dan Pemilihan Penghulu


BAB VII :   SILSILAH KELUARGA
                  1. Keturunan Ke- IX Raja Lambing
                  2. Rumah Derpih Kuala
                     3.     Hubungan Dengan Kampung Kidupen
 4.Hubungan Dengan Kampung Batukarang dan Berdirinya  Kuala Baru.
 
BAB VIII    : PERNIKAHAN DAN KETURUNAN
                     1.     Pernikahan Yang Unik
                    2.      Keturunan

BAB IX  :   PENDIDIKAN
                  1. Belajar Baca Tulis Dari Mandor BW Mulia
                  2. Mengutamkan Pendidikan

BAB X    :   HIDUP DENGAN USAHA SENDIRI
1. Kepala Kampung Tidak Bergaji
2. Kegiatan Usaha-Usaha

BAB XI  :   MENDUKUNG PERJUANGAN
                  1. Membantu Perbekalan Para Pejuang Kemerdekaan
                  2. Diakui Sebagai Anggota TNI/AD

BAB XII :   PENGHARGAAN
     
PENUTUP:   ATESTASI DAN KESIMPULAN

LAMPIRAN :
1.   Riwayat hidup dan pekerjaan Ngadang Sebayang Kepala  Kampung Tigabinanga
2.   Tambahan keterangan Budi Sebayang
3.   Bagan Silsilah Raja Lambing
4.   Swapraja dan Landschap



PENDAHULUAN


      Riwayat Hidup dari Ngadang Sebayang dan Sejarah  kota Tigabinanga, tidak dapat dipisahkan karena berjalan seiring dan sejalan. Apa yang dialami oleh Ngadang Sebayang  secara pribadi adalah  pengalaman juga  bagi kota Tigabinanga  dan sebaliknya. Dalam menapaki  jalan hidup pribadi dan pengalaman memimpin  kota selama lebih dari 4 dasawarsa, Ngadang Sebayang sempat menuangkannya dalam Dokumen Tertulis berjudul  “Riwayat Hidup dan  Sejarah mulainya terjadi Kampung  Urung Tigabinanga” tertanggal 31 Desember 1967, ditulis dan ditanda tanganinya  pada saat terakhir ia menjabat sebagai Kepala Kampung.Dengan demikian cakupan dari buku ini, hanya sampai 31 Desember tahun 1967 ketika Ngadang Sebayang mengakhiri tugasnya.

      Dalam Dokumen Tertulis  tersebut diatas dapat  ditemui  beberapa informasi, data  dan fakta  penting, kemudian oleh penyunting didalami atau diolah dengan cara  mencari latar belakang dan keterkaitannya dengan peristiwa sejarah  yang melatarinya, sehingga menjadi suatu suntingan yang menarik, lengkap,  menyeluruh dan valid.

      Sebagai Kepala Kampung, ia telah menyelesaikan tugasnya dengan baik,  setelah memangku jabatan tersebut selama lebih dari 46 tahun termasuk didalamnya menjadi Penghulu Pekan Tigabinanga  yang dirangkapnya selama 20 tahun. Tentu saja hanya hal-hal penting saja dapat  diuraikan dalam buku ini berdasarkan data dan fakta yang dapat dihimpun dari beberapa sumber, termasuk dari internet.

Atestasi (Surat Keterangan Tertulis) tertanggal 20 Maret 1965 dari Radja Muli Sebayang, bekas Raja Urung Perbesi dan Nikolaus Pandjaitan bekas Pegawai Sibayak Sarinembah,  yang menyatakan kebenaran tentang tugas yang dilaksanakan oleh Ngadang Sebayang amat berharga  bagi penulisan sejarah Tigabinanga  karena  Sibayak  Sarinembah dan Raja Urung Perbesi menjadi saksi dan pelaku sejarah kota Tigabinanga, ketika kedua-duanya mendampingi Controleur van Karoland (Bupati Karo) dalam peresmian Kota Tigabinanga.

Untuk dipahami  bahwa sistem pemerintahan daerah pada jaman pemerintahan Belanda  menganut sistem swapraja (zelfbestuur) yang berada dibawah kendali  Controleur van Karoland yang berkududukan di Kabanjahe. Di Tanah Karo terdapat lima pemerintahan wilayah (landschap) yaitu Landschap Lingga, Landschap Suka,  Landschap  Barusjahe, Landschap Sarinembah dan landschap   Kuta buluh. Masing-masing Landschap  dipimpin oleh seorang Sibayak. Dibawah Sibayak terdapat  Rajaurung yang membawahi beberapa Kuta, yang dipimpin  seorang Penghulu.  Kota Tigabinanga / Kuala berada dibawah Rajaurung Perbesi.

      Banyak kota di Indonesia yang gagal untuk menorehkan Sejarah Kotanya, karena kurangnya data yang mendukung dan minimnya tulisan yang dibuat. Ada pula Kota di Indonesia yang harus melakukan penelitian dengan biaya mahal untuk menentukan Hari Jadi kotanya. Tidak demikian halnya dengan kota Tigabinanga. Tugu dan Prasasti Kota Tigabinanga, yang dibangun dan berdiri megah di simpang tiga jalan ke Juhar / Kotacane dapat juga lebih menjelaskan  Sejarah kota Tigabinanga.

Bekasi, 26 September 2013
Penyunting,

KENCHANA SEBAYANG

Bab I, Bab II, dan Bab III

BAB I

ASAL USUL TIGABINANGA


1.    Asal  kata “Tigabinanga”

Asal dari kata  “Tigabinanga”, menurut Budi Sebayang, yang menjadi tangan kanan dari Ngadang Sebayang, adalah berasal dari bahasa Batak Toba dan ia menuliskan keterangannya sebagai berikut:
”Sesuai dengan penjelasan lisan yang dikatakan alm. Ngadang Sebayang mengenai Pekan Tigabinanga adalah sebagai berikut : 
·  Setelah pindah dari Tigaberingin ke Tigabinanga pada tahun 1915 mula-mula Pekan didekat Pos Polisi yang sekarang.
·  Oleh mandur Mulia dikatakannya bahwa Pekan itu dekat dengan Binanga (Sungai) yaitu Namo Ratah dan Lau Bengap.
·  Tiga (Pekan) dekat Binanga dan kemudian dinamakan Tigabinanga.
Saya yang menerima keterangan tersebut:
(ttd)
Budi Sebayang”


Mandur Mulia, adalah seorang mandor Pekerjaan Umum (PU)  yang melakukan pekerjaan membuat jalan di Tigabinanga, yang menghubungkan Kabanjahe ke Kotacane. Dalam membuat jalan tersebut ia mendatangkan pekerja-pekerja dari Tapanuli Utara. Ia terkenal dengan sebutan Mandor BW. Sampai sekarang keturunan dari pekerja-pekerja PU tersebut masih ada dan menjadi penduduk Tigabinanga. Budi Sebayang, 69 tahun adalah seorang yang pernah menjadi Guru, Kepala Sekolah dan Kepala Kandep PDK Kecamatan Tigabinanga,  menjadi murid adat dan kepercayaan dari Ngadang Sebayang dalam memelihara dokumen penting.

2.   Penduduk Awal Tigabinanga

Pada tahun 1915, Pemerintah Belanda menutup Pasar Tigaberingin dan pedagangnya disuruh pindah ke Tigabinanga. Pada tahun 1916, sebanyak 9 Kepala Keluarga dengan 32 orang anggota keluarganya,  pindah ke Tigabinanga. Mereka adalah: 1.Ngadang Sebayang, bersama ibunya bernama Enggelar br Ginting  Tumangger dan dua orang adiknya bernama Nampati Sebayang dan Rajakami Sebayang; 2.Ganjang (Pa Rajamin) Karo-Karo; 3.Cawir (Pa Sabab) Tarigan; 4. Bolon (Paterupung) Ginting ; 5 Ngiah (Pa Tukas ) Ginting; 6. Kelengi (Pa Linggem ) Ginting; 7.Mbera Bayak Sebayang; 8.Rajamin (Pa Kedai) Karo-Karo; 9 Ngupahi (Pa Terali) Ginting.Ke 9 orang tersebut diatas menemukan di Tigabinanga : 10.Tilik (Pa Tinuangen) Ginting; 11.Mandor BW Mulia.

Tigabinanga pada waktu itu menjadi bagian dari Kampung Kuala. Orang Kuala, yang tanahnya  berdekatan dengan Pasar, mulai membangun kios-kios kecil dan menyewakannya kepada para pedagang pada hari Pasar bahkan  kemudian menetap di Tigabinanga. Dalam kurun waktu 5 tahun penduduk Tiga binanga meningkat dengan pesat. Pada tahun 1921 mencapai 100 orang dengan 25 Kepala Keluarga. Sayang tidak tersedia catatan tentang siapa-siapa yang termasuk dalam 100 orang tersebut padahal menjadi menjadi penduduk awal dari kuta Tigabinanga ketika dilakukan peresmian. Namun  demikian dapat diduga bahwa sebagian dari mereka adalah dari rumpun keluarga pemilik  tanah yang ada sekitar Pasar yang menyewakan tanahnya kepada pedagang, dan kalangan keluarga yang bergabung melakukan kegiatan usaha.


BAB II

PERESMIAN KOTA TIGABINANGA


1.  Peresmian Tigabinanga dan Pemilihan Kepala Kampung

     Pada tanggal 21 Pebruari 1921, Tuan Controleur Tanah Karo  bersama Sibayak Sarinembah dan Rajaurung Perbesi, datang ke Tigabinanga untuk meresmikan kampung Tigabinanga. Oleh Sibayak Sarinembah penduduk disuruh berkumpul untuk mengadakan Penghulu terpisah dari Penghulu Kuala. Didalam pemilihan yang diadakan, Ngadang Sebayang menjadi Calon Tunggal dan terus diangkat oleh Sibayak Sarinemah menjadi Penghulu terhitung mulai tanggal 21 Pebruari 1921. Pada waktu itu yang menjadi Sibayak Sarinembah adalah Elok Sembiring Meliala, dan Rajaurung Perbesi, Rajamuli Sebayang (Pa Kuidah Raja Sebayang).

2.   Relokasi Pasar dan Penataan Kota

         Setelah menjadi Kepala Kampung, langkah pertama yang dilakukan oleh Ngadang Sebayang adalah melakukan Penataan kota dimulai dari melaksanakan relokasi Pasar. Pasar yang semula berada disekitar Tangsi Polisi yang sekarang, dipindahkan ke areal baru yang lebih luas berada ditengah-tengah kota. Penataan ulang Kota dilakukan secara menyeluruh. Perumahan yang terlanjur berdiri  didalam areal Pasar,  dipindahkan ke pinggir dan diatur sehingga mengelilingi areal Pasar. Rumah Toko yang dibangun, ditentukan bentuk dan ukurannya sehingga teratur dan seragam. Bentuknya ditetapkan sebagai Rumah-Deret atau Rumah Lorong, dan Bertingkat atau Loteng. Keluarga menempati di bagian loteng dan dibawahnya dijadikan Toko tempat bejualan. Jalan raya disekeliling Pasar dibuat cukup lebar untuk dapat dilalui mobil atau truk. Pasarnya sendiri kemudian dipagari  dengan kawat  sekelilingnya dan dibuat pintu masuk-keluar. Bagi yang ingin berjualan didalam areal Pasar harus membayar cukai, sebagai retribusi. Didalam Pasar, dibangun Los-Los permanen untuk menjual  barang dagangan yang datang dari kota lain. Kemudian disiapkan pula Lapak-Lapak terbuka tempat untuk menjual hasil pertanian dan kerajinan, yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya.


         Pada tahun 1926, Ngadang Sebayang  oleh Tuan Controleur Tanah Karo ditetapkan menjadi Kepala Pasar Tigabinanga. Sebutan resminya adalah Pegawai Pemungut Cukai, atau Kerani Pekan dan terkenal dengan sebutan Penghulu Pekan.Jabatan tersebut dipangkunya sampai tahun 1946.

3.  Pengembangan Kota
    Luas Tigabinanga ketika diresmikan pada tahun 1921 adalah 11 km2  dan jumlah penduduk sekitar 100 orang atau 25 kepala keluarga. Kepadatan penduduk sangat rendah, sebagian besar masih perladangan. Tigabinanga leluasa bergerak oleh  karena itu memerlukan seorang pemimpin yang dapat melihat jauh kedepan dalam  menata kotanya. Peranan Kepala Kampung sangat penting untuk mengarahkan pengembangan kota dan harus berpandangan luas. Selain bergerak dibidang niaga dan jasa, kegiatan penduduk  lainnya adalah  melakukan  pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Di bagian inti kota yang  berdekatan dengan pusat kota dilakukan penanaman tanaman  perkebunan, seperti jeruk dan nenas yang bernilai ekonomis.Rencana Peruntukan Tanah Kota ditetapkan seperti letak kawasan perdagangan, kawasan pemukiman utama, kawasan  kawasan perkantoran, fasilitas umum, seperti rumah sekolah, rumah sakit dan pemakaman. Kemudian dibangun 2 buah Kota satelit dan merupakan pemukiman dengan bentuk khusus, yaitu Ruam dan Kuala Baru berada di sayap kota  yang berada dipinggiran. Bentuk rumahnya berbeda dengan rumah di pusat kota, yakni rumah tunggal  bertiang kayu  yang seragam dan dihuni oleh penduduk sekerabat.

Pemukiman-utama yang elit dengan bangunan tunggal bertiang beton, diarahkan ke Simpang Tiga ke Juhar/Kuala. Disana berdiri Rumah Kepala Kampung, Manteri Kesehatan, Tokoh Adat dan Pemilik tanah yang kaya.

    Di Tigabinanga pernah ada Pasar Khewan, yang terkenal dengan nama “Tiga Kerbo” yang letaknya dijalan ke Kuala. Setelah kemerdekaan Pasar Khewan tersebut dipindahkan keluar kota dan lokasinya dijadikan perumahan. Pada tahun 1953 dikembangkan pemukiman kearah ke Kuala Baru, Jalan Kapten Bangsi sekarang.

    Pada tahun 1960 Kota Tigabinanga berkembang dengan pesat.Pasar Buah-buahan dibangun yang terletak di Jalan ke Juhar dan kebun jeruk yang luas beraliih fungs menjadi Pasar,dan terjadi perkembangan kota yang pesat.Antara kota lama dengan Pasar Buah-buhan dibuat jalan raya baru sehingga kebun jeruk dan kelapa yang dilewatinya beralih fungsi menjadi Rumah Toko, yang berdiri disebelah kiri dan kanan jalan. Disekitar Pasar berdiri Kilang Padi untuk menggiling padi dan perumahan penduduk. Pengembangan kawasan pemukiman terjadi di  simpang jalan ke Gunung yaitu yang disebut dengan perumahan Rakyat karena dibangun oleh Yayasan Perumahan Rakyat milik Pemda Karo dimana tinggal  pejabat publik, seperti Camat, Wedana, Kepala Kesehatan dan lain-lain. Yang mendorong adanya  pengembangan dan pembangunan  Kota  Tigabinanga adalah   Raja Nelah Sebayang yang  menjadi Wakil  Bupati Abdullah Eteng.
 

BAB III
KERJASAMA ANTAR PENDUDUK

1.   “Orang Kenjulu”    dan Dialek
         Dalam perkembangannya, ternyata bahwa “Orang Kenjulu” lebih rajin, tekun, dan pandai berdagang. Dengan penduduk setempat yang memiliki lahan, dijalin kerjasama yang saling menguntungkan. Mereka  mengikat perjanjian bahwa Kebun jeruk yang diolah dan dibiayai oleh “Orang Kenjulu”, akan dibagi dua, manakala Kebun jeruk telah berbuah dan menghasilkan.
         Asal usul Pedagang Kenjulu, sebagian dapat diketahui: dari kampung Linggajulu, Gamber, Rumah Galuh, Nangbelawan, Ajijahe, Cingkes. Mereka mempunyai dialek tersendiri, beda dengan dialek Singalorlau, sehingga menjadi bahan guyonan. Dialek  bahasa Kenjulu  diucapkan dengan “mengayun”, sedangkan langgam Singalorlau “dipadatkan”. Orang Singalorlau sering tertawa mendengar orang Kenjulu ketika berbicara. Kabanjahe diucapkan “Kabanjahai”; Nenggole diucapkan “Nenggolai”; Page menjadi “Pagai’, Kede menjadi “Kedai’; Ajijahe menjadi “Ajijahai”; Permen menjadi ”Permain”. Demikian juga O jadi U atau OU, seperti : Singalorlau diucapkan “Singalurlau”; Sapo menjadi “Sapau”.
     Orang Kenjulu tersenyum mendengar dialek Orang Singalorlau, ketika cenderung “merapatkan kata”, seperti “Juhar” diucapkan “Juar”; “Bintangmeriah” menjadi “Bintangriah”.
     Dengan berjalannya waktu, perbedaan dialek ini hapus dengan sendirinya karena terjadi perkawinan kedua dialek. Tidak hanya sampai disitu, hampir semua Orang Kenjulu menjalin hubungan perkawinan dengan penduduk Singalorlau, termasuk anak tertua dari Ngadang Sebayang, Raja Nelah Sebayang kawin dengan puteri asal Lingga Julu, Malam br Ginting.

2.   Pertambahan Penduduk

     Pada tahun 1967, penduduk Tigabinanga tercatat berjumlah 500 Rumah Tangga dengan 2511 orang.Mata pencarian penduduk adalah 95 % bertani dan 5% berniaga. Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1921 sebanyak 100 orang, maka kenaikannya 25 kali lipat atau 3% pertahun, padahal luasnya kota tetap yaitu 11 km2. Itu berarti pertambahan penduduk Tigabinanga amat pesat yang  sebagian datang dari kampung sekitarnya seperti Kuala, Keriahen, Mbetong, Kemkem, Kidupen, Kutagerat, Kutagaloh, Limang, Perbesi, Jaberneh, Bintang Meriah, Kutaraja dan dari Dairi. Bagi pejabat yang menggantikan Ngadang Sebayang yang berhenti pada tahun 1967, amat penting melakukan evaluasi pertumbuhan penduduk kota untuk menentukan arah pengembangan  kota berikutnya.Banyak fasilitas umum yang perlu ditambah, seperti air minum, rumah sakit, pemukiman bahkan pemakaman.Pemakaman misalnya,  karena makam  sudah penuh, dan mulai mengancam kebun-kebun penduduk, mengikuti kejadian buruk yang menimpa kota  Kabanjahe /Berastagi sekitarnya, yang penuh dengan kuburan yang bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Karo yang sudah ada sejak jaman Belanda yang selama ini dipertahankan oleh  Ngadang Sebayang.Nenges Sebayang yang berasal dari Kutagerat adalah orang pertama yang dimakamkan di Tigabinanga , yaitu pada tahun 1917 dan ia disebut juga simantek kuta simbelang.


Masalah lain adalah Air Minum.Perusahaan Air Minum sebelum kemerdekaan yang melayani kebutuhan air minum Kota Tigabinanga adalah NV PSM (Persatuan Sebayang Mergana), yang sukses sebagai satu badan usaha. Sumber air adalah Kerangan Congah dan airnya secara cerdik disalurkan ke Tigabinanga dengan tekanan air itu sendiri (gravity) tanpa menggunakan pompa  dapat sampai pusat kota dan ditampung di Bak besar yang dibangun di Tigabinanga yang terkenal dengan nama “lau pipa”. Kekurangan air minum sekarang ini, amat mendesak karena debit air dari sumbernya (in take) berkurang, apalagi dibagi dengan kampung-kampung sekitarnya. Disarankan agar dibangun penjernihan air di Laubengap dimana terdapat sungai sebagai baku air   untuk diolah  dengan cara disaring dengan pasir yang terdapat disana dan airnya  dipompa ke bak penampung dan didistribusikan kesuluruh bagian  kota Tigabinanga. Hampir semua Kuta di Tanah Karo berdekatan dengan sungai dan cara yang demikian dapat mengatasi kekurangan air minum yang selalu dirasakan.  

Bab IV dan Bab V


BAB IV

TIGABINANGA DAN PERJUANGAN


1.   Kedudukan Tigabinanga

    Pada tanggal 13 Maret 1946, Gubernur Sumatera, memerintahkan pembentukan Komite Nasional Tanah Karo Komite berhasil memutuskan pembentukan Pemerintahan Kabupaten Karo dengan Rakutta Sembiting Brahmana sebagai Bupati. Berdasarkan keputusan Komite Nasional  tanggal 18 April 1946, ditetapkan 3 Kewedanaan di Kabupaten Karo, yaitu:  

1.Kewedanaan Karo Tinggi, berkedudukan di Kabanjahe dengan Wedananya Netap Bukit;.
2.Kewedanaan Karo Jahe berkedudukan di Pancur Batu dengan Wedananya Keras Surbakti;
3.Kewedanaan Karo Hilir berkedudukan di Tigabinanga dengan Wedananya Tama Sebayang.

Kewedanaan Karo Hilir dibawah Wedana Tama Sebayang meliputi  5 Kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Tigabinanga dengan Camat Mulai Sebayang/Likut Ginting.
2. Kecamatan Munte dengan Camat Ngembar Sembiring Meliala.
3. Kecamatan Juhar dengan Camat Pulung Tarigan.
4. Kecamatan Kutabuluh dengan Camat  Masa Sinulingga.
5. Kecamatan Mardinding dengan Camat Nuriken Ginting/ Tambaten Berahmana.

    Pada 21 Juli 1947, pasukan infantri Belanda yang didukung kendaraan lapis baja menyerang  kota-kota utama di Sumatera Timur, termasuk Tebing Tinggi dan Kabanjahe. Residen Sumatera Timur, Mr Abubakar Jaar yang berkedudukan sementara di Tebing Tinggi setelah meninggalkan ibu kotanya   di Medan, memindahkan lagi  Ibukota Sumatera Timur ke Tigabinanga. Selama 4 bulan memimpin pemerintahan dari Tigabinanga. Kemudian  ibukota Keresidenan Sumatera Timur  pindah lagi ke Padang Sidempuan.
Bupati Kabupaten Karo juga memindahkan ibukotanya ke Tigabinanga dan selama 7 bulan berada disana.Penduduk   Tigabinanga bahu membantu pemerintahan dan Lasykar Rakyat Napindo Halilintar, dalam mendukung perjuangan.  Ibukota Kabupaten Karo. pindah lagi ke Lau Baleng dan kemudian ke Kotacane, sebagimana juga penduduk  mengungsi ke Aceh dan Dairi.
Ibukota Propinsi Sumatera Utara sendiri, terlebih dahulu telah pindah ke Kotaraja (Banda Aceh) dibawah pimpinan Sutan Muh Amin, setelah Kota Medan diduduki serdadu Belanda.Pada waktu itu Aceh adalah masih bagian Propinsi Sumatera Utara.
Atas serangan militer Belanda tersebut, rakyat Karo bangkit melakukan perlawanan dan melakukan pembalasan.Rakyat rela berkorban harta dan nyawa. Terjadi politik bumi di Kabupaten Karo dan  sebanyak 53 Kampung terbakar termasuk sebagian kota Tigabinanga.

2.    Surat Penghargaan dari Wakil Presiden RI

    Wakil Presiden M.Hatta berada di Tanah Karo disekitar peristiwa ini. Beliau awalnya bermaksud menuju  ke Kotaraja, Ibukota sementara Propinsi Sumatera Utara. Akan tetapi karena alasan keamanan, rencana berubah dan beliau memutuskan untuk kembali ke Bukittinggi melalui Tanah Karo. Beliau  menginap di Berastagi dikawal pemuda pejuang sehingga selamat kembali ke Bukit Tinggi. Beliau mendengar bagaimana para pejuang melakukan perlawanan terhadap Belanda  bersama rakyat semesta bahkan dengan membumi hanguskan kampung-kampung Karo  termasuk sebagian kota Tigabinanga.



Tercatat sebanyak 53 kampung musnah  dilalap api yaitu:

1.   Jumaraja
      (Cinta Rakyat);
  2. Keling;
  3. Payong;
  4. Berastepu;
  5. Batukarang;
  6. Sarinembah;
  7. Perbesi;
  8. Kuala;
  9. Kutabangun;
10. Pergendangen;
11. Keriahen;
12. Singgamanik;
13. Kineppen;
14. Munte;
15. Suka;
16. Rumah Kabanjahe;
17. Kabanjahe;
18. Berastagi;
19. Kacaribu;
20. Kandibata;
21. Laubaleng;
22. Susuk;
23. Tiganderket;
24. Kutabuluh;
25. Tanjung;
26. Gurukinayan;

27. Selandi;
28. Kidupen;
29. Gunung Manumpak;
30. Toraja;
31. Selakkar;
32. Rajatengah;
33. Mbang Sibabi;
34. Ajinembah;
35. Tigapanah;
36. Barusjahe;
37. Tigajumpa;
38. Merek;
39. Tengging;
40. Garingging;
41. Ergaji;
42. Barung Kersap;
43. Tanjungberingin;
44. Naman;
45. Sukandebi;
46. Kutatengah;
47. Sigarang-garang;
48. Ndesketi;
49. Gamber;
50. Gruhguh;
51. Sukajulu;
52. Kuta Kepar;
53. Tigabinanga.







Wakil Presiden Republik Indonesia M. Hatta ketika tiba di Bukit tinggi, menulis Surat Pujian berbunyi sbb:
      “Bukittingi, 1 Junuari 1947
 Kepada  Rakyat Tanah Karo Yang Kucintai,

Merdeka !
    Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah pertempuran secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO. Tapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita. Saya  bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putera Indonesia sejati.Rumah yang terbakar boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya.

Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Diatas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu, tidak dapat dibagi-bagi. Kami sudahi pujian dan berterimakasih kami kepada saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: ”Sekali Merdeka Tetap Merdeka”

Saudaramu,
Mohammat Hatta
Wakil Presiden Republik Indonesia

1.   Tigabinanga menjadi ibukota Kabupaten Karo dan Keresidenan Sumatera Timur

      Pada tanggal 31 Juli 1947, Kabanjahe  diduduki oleh Belanda, dan pusat pemerintahan sementara Kabupaten Karo dipindahkan  ke Tigabinanga. Dibawah Bupati Rakutta Sembiring Brahmana, selama 7 bulan kegiatan  pemerintahan  dilakukan dari Tigabinanga.Tugas yang dilakukan oleh Ngadang Sebayang adalah  menggerakkan rakyat membantu pejuang kemerdekaan seperti Laskar Rakyat yang menjadi kekuatan dan tulang punggung.Kemudian bersama Bupati  mengatur membantu para pengungsi yang mengungsi ke Tigabinanga dan penduduk Tigabinanga dengan ikhlas melakukannya. Pengungsi-pengungsi dari luar yang berjubel di Tigabinanga oleh Ngadang Sebayang ditempatkan di tempat penampungan darurat  yang dibangun di Ruam, dipinggiran kota, dekat dengan Laubengap. Demikian juga menyiapkan  bantuan logistik untuk pengungsi-pengungsi dan pasukan laskar Rakyat. Dalam waktu bersamaan, Tigabinanga juga menjadi Ibukota sementara Sumatera Timur dibawah Residen Abubakar Jaar.Setelah kota Medan diserang, ibukota Keresidenan Sumatera Timur dipindahkan ke Tebing Tinggi.Dan setelah kota Tebing Tinggi diduduki Belanda, ibukota dipindahkan lagi ke Tigabinanga,untuk  selama 4 bulan. Kemudian dipindahkan lagi ke Padang Sidempuan. Demikian juga Ibukota Kabupaten Karo  pada tanggal 25 Nopember 1947,  dipindahkan lagi ke Laubaleng dan selanjutnya ke Kotacane.

2.   Negara Sumatera Timur (NST)

      Setelah wilayah Keresidenan Sumatera Timur ditinggalkan oleh Pemerintah RI, pada  tanggal 25 Desember 1947, Belanda membentuk Negara Sumatera Timur (NST). Sebelumnya, pada tanggal 8 Oktober 1947, Belanda mendeklarasikan terbentuknya Daerah Istimewa Sumatera Timur (DIST) dibawah Dr. Tengku Mansyur dengan memanfaatkan elemen anti republik yang ada dikalangan bangsawan Melayu dan sebagian Raja-raja Simalungun serta beberapa Kepala Suku Karo. Mereka semua merasa kedudukannya terancam dengan berdirinya Negara baru yaitu Republik Indonesia. Perasaan ini muncul karena pada masa awal kemerdekaan terdapat pengalaman pahit dengan tekanan kaum muda pro Republik yang sangat anti bangsawan dan kemapanan. Pada tanggal 3 Maret 1946 terjadi  penangkapan atas pejabat swapraja, 17 Rajaurung dan Sibayak  di tahan di Berastagi dan kemudian dipindahkan ke Aceh Tengah dan  sistem swapraja dinyatakan  dibubarkan.Ngerajai Sembiring Meliala, yang diangkat Pemerintah Militer menjadi swapraja Tanah Karo sejak tahun 1943,  dan menjadi kepala pemerintahan pertama pada awal  kemerdekaan, ikut ditangkap.Untuk menghidarkan kekosongan pemerintahan diangkat pejabat militer di Berastagi, Mayor Nurdin sebagai pejabat Bupati sampai Rakutta Sembiring Brahmana terpilih menjadi Bupati Karo pada tahun 1946.  (Google Wikipedia).

       Setelah terbentuk, Pemerintah Negara Sumatera Timur (NST) mengangkat "Bupati” Kabupaten Karo yaitu Raja Kelelong Sinulingga (1947-1949) dan Rejin Perangin-angin (1950). Demikian juga halnya dengan pejabat-pejabat bawahannya, seperti “Wedana”, “Camat” dan “Kepala Kampung” di Kapupaten  Karo. Di wilayah Tigabinanga, diangkat “Wedana” Tigabinanga, “Camat” Tigabinanga, dan “Kepala Kampung” Tigabinanga, yang pro federal, pada hal pejabat Republik  masih ada dipengasingan.

       Dalam pada itu, terjadi perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 17 Januari 1948 ditandatangani “Perjanian Renville” yang menetapkan Garis demarkasi Van Mook.  Isinya antara lain agar kantong-kantong gerilya TNI harus mundur ke daerah  Aceh dan Tapanuli. Batas Garis demarkasi itu untuk Tanah Karo adalah  Lau Pakam yang berbatasaan dengan Aceh dan Lau Renun Laupetundal berbatasan dengan Dairi. Belanda bermaksud untuk menguasai seluruh wilayah Kabupaten Karo sebagai bagian NST.Keinginan tersebut tidak sepenuhnya berhasil  karena pertahanan yang dibuat Resimen 1 di Lau Lisang yang tidak dapat ditembus oleh serdadu Belanda.

      Sebagai mana diterangkan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Karo yang Republik tetap ada walaupun    beberapa  kali mengalami perpindahan ibukota:  Pada tanggal 31 Juli 1947 pindah ke  Tigabinanga,   tanggal 25 November 1947  pindah ke Laubaleng,  tanggal 5 Pebruari 1948 pindah ke Kutacane. Pada  tanggal 14 Agustus 1949 pindah  ke Tiganderket, berarti masuk ke Tanah Karo. Terjadilah dikotomi antara pro Republik dan pro Federal.  Terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada  tanggal 27 Desember 1949, sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berbentuk Negara Federal dengan melahirkan 3 negara anggota yaitu Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT) dan RI Jogyakarta. RIS hanya berumur 8 bulan. Setelah Republik Indonesia kembali berbentuk Negara Kesatuan, pada tanggal 16 Agustus 1950, Ibukota Kabupaten Karo kembali ke Kabanjahe dan Rakutta Sembiring Brahmana tetap menjadi Bupati.

      Pada tanggal 28 Maret 1952 dilakukan pemilihan Kepala Kampung Tigabinanga.Pada waktu itu Kuta Tiberingin digabung dengan kuta Tigabinanga, dibawah satu Penghulu dengan sebutan : Penghulu Tigabinanga & Tigaberingin. Maju menjadi Calon dalam pemilihan, Ngadang Sebayang dan Jakop Tarigan. Dalam pemilihan yang diadakan, terpilih kembali Ngadang Sebayang menjadi Kepala Kampung Tigabinanga & Tigaberingin. Dapat dijelaskan bahwa Ngadang Sebayang nonaktif sebagai Penghulu  sejak tanggal 11 Desember 1947 sampai tanggal 28 Maret 1952, yaitu  selama NST berdiri.

BAB V

GEMPURAN KE NEGARA SUMATERA TIMUR


1.   Pembagian Daerah Pertempuran 1 Mei 1947

     Pada tanggal 1 Mei 1949 di Kotacane, tercapai kesepakatan antara Komandan Sektor III Mayor Selamat Ginting dan Komandan Resimen I Letkol Jamin Gintings tentang Pembagian Daerah Pertempuran bagi masing masing pasukan dalam menghadapi militer Belanda dan Barisan Pengawal NST.

Daerah Pertempuran di Tanah Karo, Deli Serdang dan Cingkes disepakati untuk dibagi  sbb:

1.Daerah Pertempuran dari Resimen I adalah sebelah kiri jalan raya dari Kotacane sampai kota Kabanjahe. Demikian juga jalan raya dari kota Kabanjahe ke Medan.
2.Daerah Pertempuran dari Sektor III adalah sebelah kanan jalan raya dari Kotacane sampai Tigabinanga dan Tigabinanga ke Kabanjahe, dan  seluruh daerah Cingkes

     Pada tahun 1948, sekembalinya dari pengungsian  Ngadang Sebayang bersama keluarga tinggal di Kuala Baru, karena rumahnya di Simpang Tiga ke Juhar, dijadikan Belanda sebagai markas serdadu Belanda. Belanda melakukan isolasi  atas seluruh kota dengan membuat brikade kawat berduri dari semua arah  jalan, dan dijaga  siang dan malam oleh serdadu Belanda. Belanda menyangka, bahwa Tigabinanga akan  aman  dari ancaman dan serangan pasukan RI. Akan tetapi sangkaan ini salah besar. Dengan gagah berani markas Belanda diserang  oleh para gerilyawan semalam suntuk. Terdengar suara tembakan yang dahsyat pada malam itu. Beberapa tahun setelah perang usai, Ngadang Sebayang didatangi oleh keluarga para pejuang, agar dapat menunjukkan letak makam keluarganya yang gugur dalam pertempuran tersebut, dengan maksud agar tulang belulangnya dipindahkan ke kampung masing-masing. Ngadang Sebayang  dengan mudah  menun-jukkan lokasi makam pejuang tersebut , karena  dialah yang memakamkannya dengan baik-baik seusai pertempuran berlangsung. Sungguh mahal kemerdekaan ini ditebus.
  
2.   Pertempuran Bertah 7 Mei 1949

     Pada tanggal 14 April 1949, dengan mengambil tempat di Hotel Des Indes Jakarta, berlangsung perundingan antara delegasi Pemerintah RI dan Belanda. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri RI, Mr. Moehamamad Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr H. Van Roijen,  Perundingan ini dilakukan atas prakarsa dari PBB dan oleh karena itu P.B.B. ikut memantaunya. Pada tanggal 7 Mei 1949  tercapai kesepakatan dan ditanda tanganilah perjanjian “Roem-Roijen Agreement”,  isinya sbb:
1. Angkatan Bersenjata Indonesia   menghentikan semua  aktifitas gerilya;
2. Pemerintah  RI  akan menghadiri Konperensi Meja Bundar;
3. Pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta;
4. Angkatan Bersenjata Belanda menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tahanan perang”.

    
Tepat pada tanggal 7 Mei 1949, ulangi tepat pada tanggal 7 Mei 1949 justru terjadi pertempuran hebat antara tentara Belanda dan pasukan dari Sektor III di Bertah.
Konvoi Belanda yang  bersenjata lengkap yang datang dari arah Kabanjahe menuju Tigabinanga, dihadang secara heroik oleh Pasukan sektor III dibawah Pimpinan Komandan Batalion Pala Bangun. Terjadi pertempuran yang  hebat  dan legendaris sehingga peristiwa itu   diabadikan dalam:


“Lagu   7 Mei tahun 49” yang liriknya berbunyi :

“tujuh mei, tujuh mei, tahun empat puluh sembilan, serentak    sektor  tiga  melakukan gempuran, kapten pala maju dengan gagah”.
    

Komandan Sektor III, Mayor Selamat Ginting menyatakan  bahwa Pertempuran Bertah adalah  puncak  pertempuran frontal yang pernah dilakukan oleh pasukannya. Hal itu dibenar oleh Letnan Raja Nelah Sebayang, yang menjadi ajudannya.

Sebuah Tugu Peringatan, kemudian didirikan di tepi jalan raya di Bertah menuju Tigabinanga dimana dengan lengkap terukir nama para prajurit yang gugur  dalam pertempuran tersebut.Demikian juga Susunan Organisai dari Sektor III lengkap dengan nama pejabat-pejabat dan pangkatnya.

Satu hal yang amat menyentuh adalah tanggal peristiwanya sendiri  yang bersejarah yaitu tanggal 7 Mei 1949. Persis pada akhir suatu awal dan awal suatu akhir. Suatu peristiwa bersejarah : the threshhold of liberty (“berada diambang pintu sukses”) dari kemerdekaan Indonesia yang amat mahal dan berharga.