Jumat, 01 November 2013

Bab I, Bab II, dan Bab III

BAB I

ASAL USUL TIGABINANGA


1.    Asal  kata “Tigabinanga”

Asal dari kata  “Tigabinanga”, menurut Budi Sebayang, yang menjadi tangan kanan dari Ngadang Sebayang, adalah berasal dari bahasa Batak Toba dan ia menuliskan keterangannya sebagai berikut:
”Sesuai dengan penjelasan lisan yang dikatakan alm. Ngadang Sebayang mengenai Pekan Tigabinanga adalah sebagai berikut : 
·  Setelah pindah dari Tigaberingin ke Tigabinanga pada tahun 1915 mula-mula Pekan didekat Pos Polisi yang sekarang.
·  Oleh mandur Mulia dikatakannya bahwa Pekan itu dekat dengan Binanga (Sungai) yaitu Namo Ratah dan Lau Bengap.
·  Tiga (Pekan) dekat Binanga dan kemudian dinamakan Tigabinanga.
Saya yang menerima keterangan tersebut:
(ttd)
Budi Sebayang”


Mandur Mulia, adalah seorang mandor Pekerjaan Umum (PU)  yang melakukan pekerjaan membuat jalan di Tigabinanga, yang menghubungkan Kabanjahe ke Kotacane. Dalam membuat jalan tersebut ia mendatangkan pekerja-pekerja dari Tapanuli Utara. Ia terkenal dengan sebutan Mandor BW. Sampai sekarang keturunan dari pekerja-pekerja PU tersebut masih ada dan menjadi penduduk Tigabinanga. Budi Sebayang, 69 tahun adalah seorang yang pernah menjadi Guru, Kepala Sekolah dan Kepala Kandep PDK Kecamatan Tigabinanga,  menjadi murid adat dan kepercayaan dari Ngadang Sebayang dalam memelihara dokumen penting.

2.   Penduduk Awal Tigabinanga

Pada tahun 1915, Pemerintah Belanda menutup Pasar Tigaberingin dan pedagangnya disuruh pindah ke Tigabinanga. Pada tahun 1916, sebanyak 9 Kepala Keluarga dengan 32 orang anggota keluarganya,  pindah ke Tigabinanga. Mereka adalah: 1.Ngadang Sebayang, bersama ibunya bernama Enggelar br Ginting  Tumangger dan dua orang adiknya bernama Nampati Sebayang dan Rajakami Sebayang; 2.Ganjang (Pa Rajamin) Karo-Karo; 3.Cawir (Pa Sabab) Tarigan; 4. Bolon (Paterupung) Ginting ; 5 Ngiah (Pa Tukas ) Ginting; 6. Kelengi (Pa Linggem ) Ginting; 7.Mbera Bayak Sebayang; 8.Rajamin (Pa Kedai) Karo-Karo; 9 Ngupahi (Pa Terali) Ginting.Ke 9 orang tersebut diatas menemukan di Tigabinanga : 10.Tilik (Pa Tinuangen) Ginting; 11.Mandor BW Mulia.

Tigabinanga pada waktu itu menjadi bagian dari Kampung Kuala. Orang Kuala, yang tanahnya  berdekatan dengan Pasar, mulai membangun kios-kios kecil dan menyewakannya kepada para pedagang pada hari Pasar bahkan  kemudian menetap di Tigabinanga. Dalam kurun waktu 5 tahun penduduk Tiga binanga meningkat dengan pesat. Pada tahun 1921 mencapai 100 orang dengan 25 Kepala Keluarga. Sayang tidak tersedia catatan tentang siapa-siapa yang termasuk dalam 100 orang tersebut padahal menjadi menjadi penduduk awal dari kuta Tigabinanga ketika dilakukan peresmian. Namun  demikian dapat diduga bahwa sebagian dari mereka adalah dari rumpun keluarga pemilik  tanah yang ada sekitar Pasar yang menyewakan tanahnya kepada pedagang, dan kalangan keluarga yang bergabung melakukan kegiatan usaha.


BAB II

PERESMIAN KOTA TIGABINANGA


1.  Peresmian Tigabinanga dan Pemilihan Kepala Kampung

     Pada tanggal 21 Pebruari 1921, Tuan Controleur Tanah Karo  bersama Sibayak Sarinembah dan Rajaurung Perbesi, datang ke Tigabinanga untuk meresmikan kampung Tigabinanga. Oleh Sibayak Sarinembah penduduk disuruh berkumpul untuk mengadakan Penghulu terpisah dari Penghulu Kuala. Didalam pemilihan yang diadakan, Ngadang Sebayang menjadi Calon Tunggal dan terus diangkat oleh Sibayak Sarinemah menjadi Penghulu terhitung mulai tanggal 21 Pebruari 1921. Pada waktu itu yang menjadi Sibayak Sarinembah adalah Elok Sembiring Meliala, dan Rajaurung Perbesi, Rajamuli Sebayang (Pa Kuidah Raja Sebayang).

2.   Relokasi Pasar dan Penataan Kota

         Setelah menjadi Kepala Kampung, langkah pertama yang dilakukan oleh Ngadang Sebayang adalah melakukan Penataan kota dimulai dari melaksanakan relokasi Pasar. Pasar yang semula berada disekitar Tangsi Polisi yang sekarang, dipindahkan ke areal baru yang lebih luas berada ditengah-tengah kota. Penataan ulang Kota dilakukan secara menyeluruh. Perumahan yang terlanjur berdiri  didalam areal Pasar,  dipindahkan ke pinggir dan diatur sehingga mengelilingi areal Pasar. Rumah Toko yang dibangun, ditentukan bentuk dan ukurannya sehingga teratur dan seragam. Bentuknya ditetapkan sebagai Rumah-Deret atau Rumah Lorong, dan Bertingkat atau Loteng. Keluarga menempati di bagian loteng dan dibawahnya dijadikan Toko tempat bejualan. Jalan raya disekeliling Pasar dibuat cukup lebar untuk dapat dilalui mobil atau truk. Pasarnya sendiri kemudian dipagari  dengan kawat  sekelilingnya dan dibuat pintu masuk-keluar. Bagi yang ingin berjualan didalam areal Pasar harus membayar cukai, sebagai retribusi. Didalam Pasar, dibangun Los-Los permanen untuk menjual  barang dagangan yang datang dari kota lain. Kemudian disiapkan pula Lapak-Lapak terbuka tempat untuk menjual hasil pertanian dan kerajinan, yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya.


         Pada tahun 1926, Ngadang Sebayang  oleh Tuan Controleur Tanah Karo ditetapkan menjadi Kepala Pasar Tigabinanga. Sebutan resminya adalah Pegawai Pemungut Cukai, atau Kerani Pekan dan terkenal dengan sebutan Penghulu Pekan.Jabatan tersebut dipangkunya sampai tahun 1946.

3.  Pengembangan Kota
    Luas Tigabinanga ketika diresmikan pada tahun 1921 adalah 11 km2  dan jumlah penduduk sekitar 100 orang atau 25 kepala keluarga. Kepadatan penduduk sangat rendah, sebagian besar masih perladangan. Tigabinanga leluasa bergerak oleh  karena itu memerlukan seorang pemimpin yang dapat melihat jauh kedepan dalam  menata kotanya. Peranan Kepala Kampung sangat penting untuk mengarahkan pengembangan kota dan harus berpandangan luas. Selain bergerak dibidang niaga dan jasa, kegiatan penduduk  lainnya adalah  melakukan  pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Di bagian inti kota yang  berdekatan dengan pusat kota dilakukan penanaman tanaman  perkebunan, seperti jeruk dan nenas yang bernilai ekonomis.Rencana Peruntukan Tanah Kota ditetapkan seperti letak kawasan perdagangan, kawasan pemukiman utama, kawasan  kawasan perkantoran, fasilitas umum, seperti rumah sekolah, rumah sakit dan pemakaman. Kemudian dibangun 2 buah Kota satelit dan merupakan pemukiman dengan bentuk khusus, yaitu Ruam dan Kuala Baru berada di sayap kota  yang berada dipinggiran. Bentuk rumahnya berbeda dengan rumah di pusat kota, yakni rumah tunggal  bertiang kayu  yang seragam dan dihuni oleh penduduk sekerabat.

Pemukiman-utama yang elit dengan bangunan tunggal bertiang beton, diarahkan ke Simpang Tiga ke Juhar/Kuala. Disana berdiri Rumah Kepala Kampung, Manteri Kesehatan, Tokoh Adat dan Pemilik tanah yang kaya.

    Di Tigabinanga pernah ada Pasar Khewan, yang terkenal dengan nama “Tiga Kerbo” yang letaknya dijalan ke Kuala. Setelah kemerdekaan Pasar Khewan tersebut dipindahkan keluar kota dan lokasinya dijadikan perumahan. Pada tahun 1953 dikembangkan pemukiman kearah ke Kuala Baru, Jalan Kapten Bangsi sekarang.

    Pada tahun 1960 Kota Tigabinanga berkembang dengan pesat.Pasar Buah-buahan dibangun yang terletak di Jalan ke Juhar dan kebun jeruk yang luas beraliih fungs menjadi Pasar,dan terjadi perkembangan kota yang pesat.Antara kota lama dengan Pasar Buah-buhan dibuat jalan raya baru sehingga kebun jeruk dan kelapa yang dilewatinya beralih fungsi menjadi Rumah Toko, yang berdiri disebelah kiri dan kanan jalan. Disekitar Pasar berdiri Kilang Padi untuk menggiling padi dan perumahan penduduk. Pengembangan kawasan pemukiman terjadi di  simpang jalan ke Gunung yaitu yang disebut dengan perumahan Rakyat karena dibangun oleh Yayasan Perumahan Rakyat milik Pemda Karo dimana tinggal  pejabat publik, seperti Camat, Wedana, Kepala Kesehatan dan lain-lain. Yang mendorong adanya  pengembangan dan pembangunan  Kota  Tigabinanga adalah   Raja Nelah Sebayang yang  menjadi Wakil  Bupati Abdullah Eteng.
 

BAB III
KERJASAMA ANTAR PENDUDUK

1.   “Orang Kenjulu”    dan Dialek
         Dalam perkembangannya, ternyata bahwa “Orang Kenjulu” lebih rajin, tekun, dan pandai berdagang. Dengan penduduk setempat yang memiliki lahan, dijalin kerjasama yang saling menguntungkan. Mereka  mengikat perjanjian bahwa Kebun jeruk yang diolah dan dibiayai oleh “Orang Kenjulu”, akan dibagi dua, manakala Kebun jeruk telah berbuah dan menghasilkan.
         Asal usul Pedagang Kenjulu, sebagian dapat diketahui: dari kampung Linggajulu, Gamber, Rumah Galuh, Nangbelawan, Ajijahe, Cingkes. Mereka mempunyai dialek tersendiri, beda dengan dialek Singalorlau, sehingga menjadi bahan guyonan. Dialek  bahasa Kenjulu  diucapkan dengan “mengayun”, sedangkan langgam Singalorlau “dipadatkan”. Orang Singalorlau sering tertawa mendengar orang Kenjulu ketika berbicara. Kabanjahe diucapkan “Kabanjahai”; Nenggole diucapkan “Nenggolai”; Page menjadi “Pagai’, Kede menjadi “Kedai’; Ajijahe menjadi “Ajijahai”; Permen menjadi ”Permain”. Demikian juga O jadi U atau OU, seperti : Singalorlau diucapkan “Singalurlau”; Sapo menjadi “Sapau”.
     Orang Kenjulu tersenyum mendengar dialek Orang Singalorlau, ketika cenderung “merapatkan kata”, seperti “Juhar” diucapkan “Juar”; “Bintangmeriah” menjadi “Bintangriah”.
     Dengan berjalannya waktu, perbedaan dialek ini hapus dengan sendirinya karena terjadi perkawinan kedua dialek. Tidak hanya sampai disitu, hampir semua Orang Kenjulu menjalin hubungan perkawinan dengan penduduk Singalorlau, termasuk anak tertua dari Ngadang Sebayang, Raja Nelah Sebayang kawin dengan puteri asal Lingga Julu, Malam br Ginting.

2.   Pertambahan Penduduk

     Pada tahun 1967, penduduk Tigabinanga tercatat berjumlah 500 Rumah Tangga dengan 2511 orang.Mata pencarian penduduk adalah 95 % bertani dan 5% berniaga. Kalau dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1921 sebanyak 100 orang, maka kenaikannya 25 kali lipat atau 3% pertahun, padahal luasnya kota tetap yaitu 11 km2. Itu berarti pertambahan penduduk Tigabinanga amat pesat yang  sebagian datang dari kampung sekitarnya seperti Kuala, Keriahen, Mbetong, Kemkem, Kidupen, Kutagerat, Kutagaloh, Limang, Perbesi, Jaberneh, Bintang Meriah, Kutaraja dan dari Dairi. Bagi pejabat yang menggantikan Ngadang Sebayang yang berhenti pada tahun 1967, amat penting melakukan evaluasi pertumbuhan penduduk kota untuk menentukan arah pengembangan  kota berikutnya.Banyak fasilitas umum yang perlu ditambah, seperti air minum, rumah sakit, pemukiman bahkan pemakaman.Pemakaman misalnya,  karena makam  sudah penuh, dan mulai mengancam kebun-kebun penduduk, mengikuti kejadian buruk yang menimpa kota  Kabanjahe /Berastagi sekitarnya, yang penuh dengan kuburan yang bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Karo yang sudah ada sejak jaman Belanda yang selama ini dipertahankan oleh  Ngadang Sebayang.Nenges Sebayang yang berasal dari Kutagerat adalah orang pertama yang dimakamkan di Tigabinanga , yaitu pada tahun 1917 dan ia disebut juga simantek kuta simbelang.


Masalah lain adalah Air Minum.Perusahaan Air Minum sebelum kemerdekaan yang melayani kebutuhan air minum Kota Tigabinanga adalah NV PSM (Persatuan Sebayang Mergana), yang sukses sebagai satu badan usaha. Sumber air adalah Kerangan Congah dan airnya secara cerdik disalurkan ke Tigabinanga dengan tekanan air itu sendiri (gravity) tanpa menggunakan pompa  dapat sampai pusat kota dan ditampung di Bak besar yang dibangun di Tigabinanga yang terkenal dengan nama “lau pipa”. Kekurangan air minum sekarang ini, amat mendesak karena debit air dari sumbernya (in take) berkurang, apalagi dibagi dengan kampung-kampung sekitarnya. Disarankan agar dibangun penjernihan air di Laubengap dimana terdapat sungai sebagai baku air   untuk diolah  dengan cara disaring dengan pasir yang terdapat disana dan airnya  dipompa ke bak penampung dan didistribusikan kesuluruh bagian  kota Tigabinanga. Hampir semua Kuta di Tanah Karo berdekatan dengan sungai dan cara yang demikian dapat mengatasi kekurangan air minum yang selalu dirasakan.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar