BAB I
ASAL USUL
TIGABINANGA
1.
Asal kata “Tigabinanga”
Asal dari kata
“Tigabinanga”, menurut Budi Sebayang, yang menjadi tangan kanan dari
Ngadang Sebayang, adalah berasal dari bahasa Batak Toba dan ia menuliskan keterangannya
sebagai berikut:
”Sesuai
dengan penjelasan lisan yang dikatakan alm. Ngadang Sebayang mengenai Pekan
Tigabinanga adalah sebagai berikut :
· Setelah pindah dari Tigaberingin ke
Tigabinanga pada tahun 1915 mula-mula Pekan didekat Pos Polisi yang sekarang.
·
Oleh
mandur Mulia dikatakannya bahwa Pekan itu dekat dengan Binanga (Sungai) yaitu
Namo Ratah dan Lau Bengap.
·
Tiga
(Pekan) dekat Binanga dan kemudian dinamakan Tigabinanga.
Saya yang menerima keterangan
tersebut:
(ttd)
Budi Sebayang”
Mandur Mulia, adalah seorang mandor Pekerjaan Umum (PU) yang melakukan pekerjaan membuat jalan di
Tigabinanga, yang menghubungkan Kabanjahe ke Kotacane. Dalam membuat jalan
tersebut ia mendatangkan pekerja-pekerja dari Tapanuli Utara. Ia terkenal
dengan sebutan Mandor BW. Sampai sekarang keturunan dari pekerja-pekerja PU
tersebut masih ada dan menjadi penduduk Tigabinanga. Budi Sebayang, 69 tahun
adalah seorang yang pernah menjadi Guru, Kepala Sekolah dan Kepala Kandep PDK
Kecamatan Tigabinanga, menjadi murid adat
dan kepercayaan dari Ngadang Sebayang dalam memelihara dokumen penting.
2. Penduduk Awal Tigabinanga
Pada tahun 1915, Pemerintah Belanda menutup Pasar
Tigaberingin dan pedagangnya disuruh pindah ke Tigabinanga. Pada tahun 1916,
sebanyak 9 Kepala Keluarga dengan 32 orang anggota keluarganya, pindah ke Tigabinanga. Mereka adalah:
1.Ngadang Sebayang, bersama ibunya bernama Enggelar br Ginting Tumangger dan dua orang adiknya bernama
Nampati Sebayang dan Rajakami Sebayang; 2.Ganjang (Pa Rajamin) Karo-Karo; 3.Cawir
(Pa Sabab) Tarigan; 4. Bolon (Paterupung) Ginting ; 5 Ngiah (Pa Tukas )
Ginting; 6. Kelengi (Pa Linggem ) Ginting; 7.Mbera Bayak Sebayang; 8.Rajamin
(Pa Kedai) Karo-Karo; 9 Ngupahi (Pa Terali) Ginting.Ke 9 orang tersebut diatas
menemukan di Tigabinanga : 10.Tilik (Pa Tinuangen) Ginting; 11.Mandor BW Mulia.
Tigabinanga pada waktu itu menjadi bagian dari Kampung
Kuala. Orang Kuala, yang tanahnya berdekatan dengan Pasar, mulai membangun
kios-kios kecil dan menyewakannya kepada para pedagang pada hari Pasar bahkan kemudian menetap di Tigabinanga. Dalam kurun
waktu 5 tahun penduduk Tiga binanga meningkat dengan pesat. Pada tahun 1921 mencapai
100 orang dengan 25 Kepala Keluarga. Sayang tidak tersedia catatan tentang siapa-siapa
yang termasuk dalam 100 orang tersebut padahal menjadi menjadi penduduk awal
dari kuta Tigabinanga ketika dilakukan peresmian. Namun demikian dapat diduga bahwa sebagian dari
mereka adalah dari rumpun keluarga pemilik
tanah yang ada sekitar Pasar yang menyewakan tanahnya kepada pedagang, dan
kalangan keluarga yang bergabung melakukan kegiatan usaha.
BAB
II
PERESMIAN
KOTA TIGABINANGA
1.
Peresmian
Tigabinanga dan Pemilihan Kepala Kampung
Pada tanggal 21
Pebruari 1921, Tuan Controleur Tanah Karo bersama Sibayak Sarinembah dan Rajaurung Perbesi,
datang ke Tigabinanga untuk meresmikan kampung Tigabinanga. Oleh Sibayak Sarinembah
penduduk disuruh berkumpul untuk mengadakan Penghulu terpisah dari Penghulu
Kuala. Didalam pemilihan yang diadakan, Ngadang Sebayang menjadi Calon Tunggal
dan terus diangkat oleh Sibayak Sarinemah menjadi Penghulu terhitung mulai
tanggal 21 Pebruari 1921. Pada waktu itu yang menjadi Sibayak Sarinembah adalah
Elok Sembiring Meliala, dan Rajaurung Perbesi, Rajamuli Sebayang (Pa Kuidah
Raja Sebayang).
2.
Relokasi
Pasar dan Penataan Kota
Setelah
menjadi Kepala Kampung, langkah pertama yang dilakukan oleh Ngadang Sebayang
adalah melakukan Penataan kota dimulai dari melaksanakan relokasi Pasar. Pasar yang
semula berada disekitar Tangsi Polisi yang sekarang, dipindahkan ke areal baru yang
lebih luas berada ditengah-tengah kota. Penataan ulang Kota dilakukan secara
menyeluruh. Perumahan yang terlanjur berdiri didalam areal Pasar, dipindahkan ke pinggir dan diatur sehingga mengelilingi
areal Pasar. Rumah Toko yang dibangun, ditentukan bentuk dan ukurannya sehingga
teratur dan seragam. Bentuknya ditetapkan sebagai Rumah-Deret atau Rumah
Lorong, dan Bertingkat atau Loteng. Keluarga menempati di bagian loteng dan
dibawahnya dijadikan Toko tempat bejualan. Jalan raya disekeliling Pasar dibuat
cukup lebar untuk dapat dilalui mobil atau truk. Pasarnya sendiri kemudian
dipagari dengan kawat sekelilingnya dan dibuat pintu masuk-keluar. Bagi
yang ingin berjualan didalam areal Pasar harus membayar cukai, sebagai
retribusi. Didalam Pasar, dibangun Los-Los permanen untuk menjual barang dagangan yang datang dari kota lain. Kemudian
disiapkan pula Lapak-Lapak terbuka tempat untuk menjual hasil pertanian dan
kerajinan, yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya.
Pada tahun 1926,
Ngadang Sebayang oleh Tuan Controleur Tanah
Karo ditetapkan menjadi Kepala Pasar Tigabinanga. Sebutan resminya adalah Pegawai
Pemungut Cukai, atau Kerani Pekan dan terkenal dengan sebutan Penghulu Pekan.Jabatan
tersebut dipangkunya sampai tahun 1946.
3. Pengembangan
Kota
Luas Tigabinanga ketika
diresmikan pada tahun 1921 adalah 11 km2
dan jumlah penduduk sekitar 100 orang atau 25 kepala keluarga. Kepadatan
penduduk sangat rendah, sebagian besar masih perladangan. Tigabinanga leluasa
bergerak oleh karena itu memerlukan
seorang pemimpin yang dapat melihat jauh kedepan dalam menata kotanya. Peranan Kepala Kampung sangat
penting untuk mengarahkan pengembangan kota dan harus berpandangan luas. Selain
bergerak dibidang niaga dan jasa, kegiatan penduduk lainnya adalah melakukan pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Di
bagian inti kota yang berdekatan dengan
pusat kota dilakukan penanaman tanaman perkebunan,
seperti jeruk dan nenas yang bernilai ekonomis.Rencana Peruntukan Tanah Kota
ditetapkan seperti letak kawasan perdagangan, kawasan pemukiman utama, kawasan kawasan perkantoran, fasilitas umum, seperti rumah
sekolah, rumah sakit dan pemakaman. Kemudian dibangun 2 buah Kota satelit dan
merupakan pemukiman dengan bentuk khusus, yaitu Ruam dan Kuala Baru berada di sayap
kota yang berada dipinggiran. Bentuk
rumahnya berbeda dengan rumah di pusat kota, yakni rumah tunggal bertiang kayu yang seragam dan dihuni oleh penduduk
sekerabat.
Pemukiman-utama yang elit dengan bangunan tunggal bertiang beton,
diarahkan ke Simpang Tiga ke Juhar/Kuala. Disana berdiri Rumah Kepala Kampung,
Manteri Kesehatan, Tokoh Adat dan Pemilik tanah yang kaya.
Di Tigabinanga
pernah ada Pasar Khewan, yang terkenal dengan nama “Tiga Kerbo” yang letaknya
dijalan ke Kuala. Setelah kemerdekaan Pasar Khewan tersebut dipindahkan keluar kota
dan lokasinya dijadikan perumahan. Pada tahun 1953 dikembangkan pemukiman kearah
ke Kuala Baru, Jalan Kapten Bangsi sekarang.
Pada tahun 1960
Kota Tigabinanga berkembang dengan pesat.Pasar Buah-buahan dibangun yang terletak
di Jalan ke Juhar dan kebun jeruk yang luas beraliih fungs menjadi Pasar,dan
terjadi perkembangan kota yang pesat.Antara kota lama dengan Pasar Buah-buhan
dibuat jalan raya baru sehingga kebun jeruk dan kelapa yang dilewatinya beralih
fungsi menjadi Rumah Toko, yang berdiri disebelah kiri dan kanan jalan. Disekitar
Pasar berdiri Kilang Padi untuk menggiling padi dan perumahan penduduk. Pengembangan
kawasan pemukiman terjadi di simpang jalan
ke Gunung yaitu yang disebut dengan perumahan Rakyat karena dibangun oleh
Yayasan Perumahan Rakyat milik Pemda Karo dimana tinggal pejabat publik, seperti Camat, Wedana, Kepala
Kesehatan dan lain-lain. Yang mendorong adanya pengembangan dan pembangunan Kota Tigabinanga
adalah Raja Nelah Sebayang yang menjadi Wakil Bupati Abdullah Eteng.
BAB
III
KERJASAMA
ANTAR PENDUDUK
1. “Orang
Kenjulu” dan
Dialek
Dalam
perkembangannya, ternyata bahwa “Orang Kenjulu” lebih rajin, tekun, dan pandai
berdagang. Dengan penduduk setempat yang memiliki lahan, dijalin kerjasama yang
saling menguntungkan. Mereka mengikat
perjanjian bahwa Kebun jeruk yang diolah dan dibiayai oleh “Orang Kenjulu”,
akan dibagi dua, manakala Kebun jeruk telah berbuah dan menghasilkan.
Asal usul
Pedagang Kenjulu, sebagian dapat diketahui: dari kampung Linggajulu, Gamber,
Rumah Galuh, Nangbelawan, Ajijahe, Cingkes. Mereka mempunyai dialek tersendiri,
beda dengan dialek Singalorlau, sehingga menjadi bahan guyonan. Dialek bahasa Kenjulu
diucapkan dengan “mengayun”, sedangkan langgam Singalorlau “dipadatkan”.
Orang Singalorlau sering tertawa mendengar orang Kenjulu ketika berbicara.
Kabanjahe diucapkan “Kabanjahai”; Nenggole diucapkan “Nenggolai”; Page menjadi “Pagai’,
Kede menjadi “Kedai’; Ajijahe menjadi “Ajijahai”; Permen menjadi ”Permain”.
Demikian juga O jadi U atau OU, seperti : Singalorlau diucapkan “Singalurlau”; Sapo
menjadi “Sapau”.
Orang Kenjulu
tersenyum mendengar dialek Orang Singalorlau, ketika cenderung “merapatkan kata”,
seperti “Juhar” diucapkan “Juar”; “Bintangmeriah” menjadi “Bintangriah”.
Dengan
berjalannya waktu, perbedaan dialek ini hapus dengan sendirinya karena terjadi
perkawinan kedua dialek. Tidak hanya sampai disitu, hampir semua Orang Kenjulu
menjalin hubungan perkawinan dengan penduduk Singalorlau, termasuk anak tertua dari
Ngadang Sebayang, Raja Nelah Sebayang kawin dengan puteri asal Lingga Julu,
Malam br Ginting.
2. Pertambahan
Penduduk
Pada
tahun 1967, penduduk Tigabinanga tercatat berjumlah 500 Rumah Tangga dengan
2511 orang.Mata pencarian penduduk adalah 95 % bertani dan 5% berniaga. Kalau
dibandingkan dengan jumlah penduduk pada tahun 1921 sebanyak 100 orang, maka
kenaikannya 25 kali lipat atau 3% pertahun, padahal luasnya kota tetap yaitu 11
km2. Itu berarti pertambahan penduduk Tigabinanga amat pesat yang sebagian datang dari kampung sekitarnya seperti
Kuala, Keriahen, Mbetong, Kemkem, Kidupen, Kutagerat, Kutagaloh, Limang, Perbesi,
Jaberneh, Bintang Meriah, Kutaraja dan dari Dairi. Bagi pejabat yang
menggantikan Ngadang Sebayang yang berhenti pada tahun 1967, amat penting
melakukan evaluasi pertumbuhan penduduk kota untuk menentukan arah pengembangan
kota berikutnya.Banyak fasilitas umum
yang perlu ditambah, seperti air minum, rumah sakit, pemukiman bahkan
pemakaman.Pemakaman misalnya, karena
makam sudah penuh, dan mulai mengancam
kebun-kebun penduduk, mengikuti kejadian buruk yang menimpa kota Kabanjahe /Berastagi sekitarnya, yang penuh
dengan kuburan yang bertentangan dengan Peraturan Daerah Kabupaten Karo yang
sudah ada sejak jaman Belanda yang selama ini dipertahankan oleh Ngadang Sebayang.Nenges Sebayang yang berasal
dari Kutagerat adalah orang pertama yang dimakamkan di Tigabinanga , yaitu pada
tahun 1917 dan ia disebut juga simantek kuta simbelang.
Masalah lain adalah Air Minum.Perusahaan
Air Minum sebelum kemerdekaan yang melayani kebutuhan air minum Kota
Tigabinanga adalah NV PSM (Persatuan Sebayang Mergana), yang sukses sebagai
satu badan usaha. Sumber air adalah Kerangan Congah dan airnya secara cerdik
disalurkan ke Tigabinanga dengan tekanan air itu sendiri (gravity) tanpa menggunakan
pompa dapat sampai pusat kota dan
ditampung di Bak besar yang dibangun di Tigabinanga yang terkenal dengan nama
“lau pipa”. Kekurangan air minum sekarang ini, amat mendesak karena debit air
dari sumbernya (in take) berkurang, apalagi dibagi dengan kampung-kampung
sekitarnya. Disarankan agar dibangun penjernihan air di Laubengap dimana
terdapat sungai sebagai baku air untuk diolah dengan cara disaring dengan pasir yang
terdapat disana dan airnya dipompa ke bak
penampung dan didistribusikan kesuluruh bagian kota Tigabinanga. Hampir semua Kuta di Tanah
Karo berdekatan dengan sungai dan cara yang demikian dapat mengatasi kekurangan
air minum yang selalu dirasakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar