BAB
IX
PENDIDIKAN
1.
Belajar
Baca-Tulis dari Mandor BW Mulia
Ngadang Sebayang tidak pernah masuk sekolah, karena tidak
ada sekolah karena tidak ada sekolah yang dapat dimasuki.Ia belajar membaca dan menulis dari Mandor BW Mulia yang sedang bertugas mengerjakan
pembuatan jalan raya di Tigabinanga. Hanya dalam waktu seminggu ia telah
“lulus” karena ia cerdas dan dianugrahi daya ingat yang kuat. Dapat
membaca, menulis dan berhitung adalah keuntungan, dan menunjang kedudukannya sebagai Kepala Kampung dan Kepala Pasar. Membaca surat-surat dan membuat
laporan kepihak atasan adalah keharusan. Merangkap tugas Pegawai Pemungut
Cukai, lebih menuntut kemampuan dalam membuat pembukuan serta neraca. Kas
opname termasuk memeriksa secara teliti semua
potongan karcis-karcis pasar telah terjual sungguh menuntut kemampuan dan
ketrampilan tersendiri. Karena tidak mempunyai kantor dan pegawai sendiri, ia terpaksa
menggunakan rumah pribadinya sebagai kantor sehingga lemari rumahnya dipenuhi potongan-potongan karcis yang tersusun rapi.
2.
Mengutamakan
Pendidikan
Ngadang
Sebayang amat memperhatikan pendidikan. Pada masa jabatannya diawal
kemerdekaan, dilaksanakan dengan sungguh-sungguh kegiatan Pemberantasan Buta
Huruf (PBH) dengan bantuan dari guru-guru yang ada di Tigabinanga. Walaupun
mengalami beberapa hambatan, kursus berjalan dengan baik termasuk oleh isterinya.
Beberapa alumni dari PBH ini mampu menulis membaca surat kabar dikedai kopi.
Dikemudian hari program PBH ini dilanjutkan diseluruh Tanah Karo dan dilakukan
razia bagi penumpang bus yang bermaksud
ke suatu pekan, dan harus membuktikan dirinya mampu
membaca sebelum dapat melanjutkan perjalanan.
Sebagai abang yang tertua, Ngadang Sebayang mendorong
adiknya untuk belajar baik-baik. Nampati Sebayang menempuh pendidikan sehingga sampai Sekolah Rakyat (Volkschool)
kelas 4. Ia terjun ke masyarakat dengan
bekerja di Toko Kian Hin Kabanjahe, dan pada jaman Jepang melakukan pekerjaan sebagai pedagang lembu dari Aceh, bersama
Raja Nelah Sebayang dan hampir menghadapi bahaya maut, ketika terjadi huru hara
bersenjata di sekitar Pancurbatu. Pekerjaan tetapnya adalah bertani, pembantaian babi setiap hari Senen dan
mengusahakan meja bola. Rajakami Sebayang, adiknya yang bungsu, masuk sekolah
guru dan pada tahun 1929 tamat Sekolah Guru
OVO di Kabanjahe, dan sejak 1930-1943 menjadi Guru dibeberapa tempat di
Tanah Karo termasuk di Kidupen, dan 10 tahun terakhir mengajar di SD Kabanjahe.
Menjadi simpartisan PNI dan Sekertaris
Parkindo Cabang Kabupaten Karo. Menjadi
Utusan di Kongres Parkindo Se-Indonesia di Jakarta. Kemudian setelah
mengundurkan diri dari tugas sebagai guru ia menjadi Wiraswasta dan menulis buku “Sejarah Sebayang
Mergana” dan dengan biaya sendiri melakukan penelitian lapangan termasuk ke
Daerah Alas.
Hasil penelitiannya tersebut dijadikan referensi oleh
penulis Jerman dan Jepang dan ditulis di Wikipedia dibawah judul Raja Lambing di Tanah Alas dan dapat di akses di internet
Google.
,
Setammat dari Sekolah Rakyat Ngadang Sebayang mengirim
anak-anaknya keluar Tigabinanga untuk mengikuti pendidikan:
1. Raja Nelah
Sebayang, ke Berastagi untuk mengikuti Sekolah
Penghubung (Schakelschool),
2. Katalit br
Sebayang, ke Kabanjahe untuk mengikuti Sekolah Kepandaian Puteri (Mesyes School).
3. Ruth Kita br
Sebayang, ke Medan untuk mengikuti Kursus Tata Busana.
4. Kencana Sebayang
ke Kabanjahe dan Medan untuk mengikuti pendidikan SMP/SMA/Fakutas dan menjadi Sarjana
Hukum pertama dari Tigabinanga dan dari marga
Sebayang.
5. Jendamin br
Sebayang ke Medan, untuk mengikuti Sekolah Guru Kepandaian Puteri (SGKP)
6. Pringetten br
Sebayang dikirim ke Bandung untuk kuliah dan lulus Fakultas Sospol di UNPAD,
dan menjadi sarjana wanita yang jarang dari kampung Tigabinanga.
Sebagai “Bayak”, ia juga mendorong cucu-cucnya agar menempuh pendidikan sebaik
baiknya sehingga menjadi sarjana dan beberapa diantaranya mendapat beasiswa untuk
pendidikan S1/S2/S3 di dalam dan luar
negeri.
Dalam Terombo Pantek Sebayang di Lampiran buku ini dapat
dilihat nama-nama Anak-anak dan Cucunya,
termasuk tingkat pendidikan yang ditempuh.
BAB X
HIDUP DENGAN USAHA SENDIRI
1.
Kepala
Kampung Tidak Bergaji
Sebagai Kepala Kampung, Ngadang Sebayang tidak menerima gaji dari Pemerintah. Di pulau Jawa, kehidupan
Kepala Desa ditunjang oleh tanah milik
desa yang disebut “tanah bengkok” dari mana Kepala Desa mencukupi kehidupannya.
Tidak demikian halnya dengan Kabupaten Karo. Kepala Kampung harus dapat hidup
dengan mandiri. Ngadang Sebayang dapat melakukan hal itu. Ia menggarap lahan
pertaniannya dengan efektif sehingga menghasilkan dan mendorong agar penduduk melakukan hal yang
sama. Ia memperkenalkan pemakaian traktor
dan pupuk dan memperkenalkan cara menghitung musim agar tanaman tidak terkena
musim kemarau. Ia juga memberi contoh tentang bagaimana mengembangkan
perternakan rumahan seperti babi. Seorang
Tionghoa, yang dipanggil “Apek”, diizinkannya untuk memakai kebunnya untuk peternakan babi. Lahan
kebun ditanaminya dengan ubi jalar, buah dan batangnya diolah sebagai sumber
pakan babi dengan cara merebusnya dan kemudian dicampur dedak dan tepung ikan.
Jumlah babinya sampai mencapai jumlah 50-an. Ketika penduduk Tigabinanga
mengungsi, Apek dan keluarganya, tidak ikut mengungsi. Ia menjadi orang terkaya
di Tigabinanga ketika menjual babinya dengan amat mahal. Peraturan
Pemerintah No. 10 tahun limapuluhan mengharuskan orang Tionghoa pindah ke ibukota
Kabupaten, sehingga pindah ke Kabanjahe. Sejak itu tidak ada orang Tionghoa
di Tigabinanga.
2.
Kegiatan
Usaha-usaha
Ngadang
Sebayang sendiri mempunyai usaha perternakan sapi yang dimulainya dari jumlah sedikit. Dengan
bekerja sama dengan permakan (yang memelihara sapi), jumlah sapinya sedikit
demi sedikit bertambah sehingga menjadi banyak. Dalam kegiatan peternakan, seorang
laki-laki yang gagap bicara (“pekak”) diajaknya untuk tinggal dirumahnya untuk
diajari bagaimana cara berternak sapi dengan baik. Semua keperluan dari tangan
kanannya ini ditanggungnya sehingga rajin melakukan tugasnya, apalagi sistem
bagi hasil yang dilakukannya. Sistem bagi hasil dengan permakan tetap
dilaksanakannya ketika peternakannya dipindahkan ke Kampung Lau Kapor dimana
jumlah ternaknya bertambah-tambah. Berdasar kesepakatan keluarga setiap cucunya yang akan berumahtangga, dapat mengambil seekor untuk
dipotong sebagai dukungan atas pernikahannya.
Selain itu ia juga menjadi Pemegang izin pertambangan golongan C
di Lau Bengap, yang izinnya dikeluarkan Bupati Kepala Daerah Karo yang
didapatnya sejak awal kemerdekaan. Pasir
yang dibawa arus sungai, diangkat dari dasar
sungai yang mengalir ke darat dan sama sekali tidak mengganggu fondasi jembatan
yang berada disebelah hilirnya. Ia mempercayakan seorang Pengelola, untuk
menjual pasir termasuk dalam menyetorkan uang retribusi kekantor Camat. Dari
jumlah setoran retribusi inilah ia mengetahui volume pasir yang terjual sehingga
mudah membaginya dengan Pengelola sesuai
kesepakatan.
Dibawah pimpinan anak kandungnya, Raja Nelah Sebayang sebagai
Direktur, ia turut saham dari Firma Singalorlau yang bergerak dalam industri
kilang papan yang terletak dikampung Kuala dan aanemer (pemborong
bangun-bangunan) di Tigabinanga. Pemegang saham lainnya adalah Pengarahen
Tarigan, Ngasami Tarigan dan Rajakami Sebayang yang ditetapkan dalam Akte Notaris
No. 12 dari Mr. Hasan gelar Sutan Pane Paruhum di Medan. Dikemudian hari
terjadi divestasi atas saham-saham tersebut dan masing-masing pemegang saham mendapat
keuntungan (deviden).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar