Jumat, 01 November 2013

Bab IX dan Bab X


BAB IX

PENDIDIKAN

1.   Belajar Baca-Tulis dari Mandor BW Mulia

         Ngadang Sebayang tidak pernah masuk sekolah, karena tidak ada sekolah karena tidak ada sekolah yang dapat dimasuki.Ia belajar membaca  dan menulis  dari Mandor BW Mulia yang sedang bertugas mengerjakan pembuatan jalan raya di Tigabinanga. Hanya dalam waktu seminggu ia telah “lulus” karena ia  cerdas dan  dianugrahi daya ingat yang kuat. Dapat membaca, menulis dan berhitung adalah keuntungan, dan menunjang kedudukannya  sebagai Kepala Kampung  dan Kepala Pasar. Membaca surat-surat dan membuat laporan kepihak atasan adalah keharusan. Merangkap tugas Pegawai Pemungut Cukai, lebih menuntut kemampuan dalam membuat pembukuan serta neraca. Kas opname termasuk memeriksa secara teliti semua  potongan karcis-karcis pasar telah terjual sungguh menuntut kemampuan dan ketrampilan tersendiri. Karena tidak mempunyai kantor dan pegawai sendiri, ia terpaksa menggunakan rumah pribadinya sebagai kantor sehingga lemari rumahnya  dipenuhi  potongan-potongan  karcis yang tersusun rapi.

2.   Mengutamakan Pendidikan

         Ngadang Sebayang amat memperhatikan pendidikan. Pada masa jabatannya diawal kemerdekaan, dilaksanakan dengan sungguh-sungguh kegiatan Pemberantasan Buta Huruf (PBH) dengan bantuan dari guru-guru yang ada di Tigabinanga. Walaupun mengalami beberapa hambatan, kursus berjalan dengan baik termasuk oleh isterinya. Beberapa alumni dari PBH ini mampu menulis membaca surat kabar dikedai kopi. Dikemudian hari program PBH ini dilanjutkan diseluruh Tanah Karo dan dilakukan razia bagi  penumpang bus yang bermaksud ke suatu pekan, dan harus membuktikan dirinya mampu membaca sebelum dapat melanjutkan perjalanan.

Sebagai abang yang tertua, Ngadang Sebayang mendorong adiknya untuk belajar baik-baik. Nampati Sebayang menempuh pendidikan  sehingga sampai Sekolah Rakyat (Volkschool) kelas 4. Ia terjun ke masyarakat  dengan bekerja di Toko Kian Hin Kabanjahe, dan pada jaman Jepang melakukan  pekerjaan sebagai pedagang lembu dari Aceh, bersama Raja Nelah Sebayang dan hampir menghadapi bahaya maut, ketika terjadi huru hara bersenjata di sekitar Pancurbatu. Pekerjaan tetapnya adalah  bertani, pembantaian babi setiap hari Senen dan mengusahakan meja bola. Rajakami Sebayang, adiknya yang bungsu, masuk sekolah guru dan pada tahun 1929 tamat Sekolah Guru  OVO di Kabanjahe, dan sejak 1930-1943 menjadi Guru dibeberapa tempat di Tanah Karo termasuk di Kidupen, dan 10 tahun terakhir mengajar di SD Kabanjahe. Menjadi simpartisan PNI  dan Sekertaris Parkindo Cabang Kabupaten Karo.  Menjadi Utusan di Kongres Parkindo Se-Indonesia di Jakarta. Kemudian setelah mengundurkan diri dari tugas sebagai guru ia menjadi  Wiraswasta dan menulis buku “Sejarah Sebayang Mergana” dan dengan biaya sendiri melakukan penelitian lapangan termasuk ke Daerah Alas.
Hasil penelitiannya tersebut dijadikan referensi oleh penulis Jerman dan Jepang dan ditulis di Wikipedia dibawah judul Raja Lambing  di Tanah Alas dan dapat di akses di internet Google.
,
Setammat dari Sekolah Rakyat Ngadang Sebayang mengirim anak-anaknya  keluar  Tigabinanga untuk mengikuti pendidikan:
1.  Raja Nelah Sebayang, ke Berastagi untuk  mengikuti Sekolah Penghubung (Schakelschool),
2.  Katalit br Sebayang, ke Kabanjahe untuk mengikuti Sekolah Kepandaian Puteri (Mesyes School).
3.  Ruth Kita br Sebayang, ke Medan untuk mengikuti Kursus Tata Busana.
4.  Kencana Sebayang ke Kabanjahe dan Medan untuk mengikuti pendidikan SMP/SMA/Fakutas dan menjadi Sarjana Hukum pertama  dari Tigabinanga dan dari marga Sebayang.
5.  Jendamin br Sebayang ke Medan, untuk mengikuti  Sekolah Guru Kepandaian Puteri (SGKP)
6.  Pringetten br Sebayang dikirim ke Bandung untuk kuliah dan lulus Fakultas Sospol di UNPAD, dan menjadi sarjana wanita yang jarang dari kampung Tigabinanga.

Sebagai “Bayak”, ia juga mendorong  cucu-cucnya agar menempuh pendidikan sebaik baiknya sehingga menjadi sarjana dan beberapa diantaranya mendapat beasiswa untuk  pendidikan S1/S2/S3 di dalam dan luar negeri.

Dalam   Terombo Pantek Sebayang di Lampiran buku ini dapat dilihat nama-nama  Anak-anak dan Cucunya, termasuk tingkat pendidikan yang ditempuh.
BAB X

HIDUP DENGAN USAHA SENDIRI


1.   Kepala Kampung  Tidak Bergaji

     Sebagai Kepala Kampung, Ngadang Sebayang tidak  menerima gaji dari Pemerintah. Di pulau Jawa, kehidupan Kepala Desa ditunjang  oleh tanah milik desa yang disebut “tanah bengkok” dari mana Kepala Desa mencukupi kehidupannya. Tidak demikian halnya dengan Kabupaten Karo. Kepala Kampung harus dapat hidup dengan mandiri. Ngadang Sebayang dapat melakukan hal itu. Ia menggarap lahan pertaniannya dengan efektif sehingga menghasilkan dan   mendorong agar penduduk melakukan hal yang sama. Ia  memperkenalkan pemakaian traktor dan pupuk dan memperkenalkan cara menghitung musim agar tanaman tidak terkena musim kemarau. Ia juga memberi contoh tentang bagaimana mengembangkan perternakan rumahan seperti  babi. Seorang Tionghoa, yang dipanggil “Apek”, diizinkannya  untuk memakai kebunnya untuk peternakan babi. Lahan kebun ditanaminya dengan ubi jalar, buah dan batangnya diolah sebagai sumber pakan babi dengan cara merebusnya dan kemudian dicampur dedak dan tepung ikan. Jumlah babinya sampai mencapai jumlah 50-an. Ketika penduduk Tigabinanga mengungsi, Apek dan keluarganya, tidak ikut mengungsi. Ia menjadi orang terkaya di Tigabinanga ketika  menjual   babinya dengan amat mahal. Peraturan Pemerintah No. 10 tahun limapuluhan mengharuskan orang Tionghoa pindah ke ibukota Kabupaten, sehingga  pindah ke  Kabanjahe. Sejak itu tidak ada orang Tionghoa di Tigabinanga.





2.   Kegiatan Usaha-usaha

Ngadang Sebayang sendiri mempunyai usaha perternakan sapi  yang dimulainya dari jumlah sedikit. Dengan bekerja sama dengan permakan (yang memelihara sapi), jumlah sapinya sedikit demi sedikit bertambah sehingga menjadi banyak. Dalam kegiatan peternakan, seorang laki-laki yang gagap bicara (“pekak”) diajaknya untuk tinggal dirumahnya untuk diajari bagaimana cara berternak sapi dengan baik. Semua keperluan dari tangan kanannya ini ditanggungnya sehingga rajin melakukan tugasnya, apalagi sistem bagi hasil yang dilakukannya. Sistem bagi hasil dengan permakan tetap dilaksanakannya ketika peternakannya dipindahkan ke Kampung Lau Kapor dimana jumlah ternaknya bertambah-tambah. Berdasar kesepakatan keluarga  setiap cucunya yang akan  berumahtangga, dapat mengambil seekor untuk dipotong sebagai dukungan atas pernikahannya.

     Selain itu ia juga menjadi Pemegang izin pertambangan golongan C di Lau Bengap, yang izinnya dikeluarkan Bupati Kepala Daerah Karo yang didapatnya sejak awal  kemerdekaan. Pasir yang dibawa arus sungai,  diangkat dari dasar sungai yang mengalir ke darat dan sama sekali tidak mengganggu fondasi jembatan yang berada disebelah hilirnya. Ia mempercayakan seorang Pengelola, untuk menjual pasir termasuk dalam menyetorkan uang retribusi kekantor Camat. Dari jumlah setoran retribusi inilah ia mengetahui volume pasir yang terjual sehingga mudah  membaginya dengan Pengelola sesuai kesepakatan.

     Dibawah pimpinan anak kandungnya, Raja Nelah Sebayang sebagai Direktur, ia turut saham dari Firma Singalorlau yang bergerak dalam industri kilang papan yang terletak dikampung Kuala dan aanemer (pemborong bangun-bangunan) di Tigabinanga. Pemegang saham lainnya adalah Pengarahen Tarigan, Ngasami Tarigan dan Rajakami Sebayang yang ditetapkan dalam Akte Notaris No. 12 dari Mr. Hasan gelar Sutan Pane Paruhum di Medan. Dikemudian hari terjadi divestasi atas saham-saham tersebut dan masing-masing pemegang saham mendapat keuntungan (deviden).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar