Jumat, 01 November 2013

Bab IV dan Bab V


BAB IV

TIGABINANGA DAN PERJUANGAN


1.   Kedudukan Tigabinanga

    Pada tanggal 13 Maret 1946, Gubernur Sumatera, memerintahkan pembentukan Komite Nasional Tanah Karo Komite berhasil memutuskan pembentukan Pemerintahan Kabupaten Karo dengan Rakutta Sembiting Brahmana sebagai Bupati. Berdasarkan keputusan Komite Nasional  tanggal 18 April 1946, ditetapkan 3 Kewedanaan di Kabupaten Karo, yaitu:  

1.Kewedanaan Karo Tinggi, berkedudukan di Kabanjahe dengan Wedananya Netap Bukit;.
2.Kewedanaan Karo Jahe berkedudukan di Pancur Batu dengan Wedananya Keras Surbakti;
3.Kewedanaan Karo Hilir berkedudukan di Tigabinanga dengan Wedananya Tama Sebayang.

Kewedanaan Karo Hilir dibawah Wedana Tama Sebayang meliputi  5 Kecamatan yaitu:

1. Kecamatan Tigabinanga dengan Camat Mulai Sebayang/Likut Ginting.
2. Kecamatan Munte dengan Camat Ngembar Sembiring Meliala.
3. Kecamatan Juhar dengan Camat Pulung Tarigan.
4. Kecamatan Kutabuluh dengan Camat  Masa Sinulingga.
5. Kecamatan Mardinding dengan Camat Nuriken Ginting/ Tambaten Berahmana.

    Pada 21 Juli 1947, pasukan infantri Belanda yang didukung kendaraan lapis baja menyerang  kota-kota utama di Sumatera Timur, termasuk Tebing Tinggi dan Kabanjahe. Residen Sumatera Timur, Mr Abubakar Jaar yang berkedudukan sementara di Tebing Tinggi setelah meninggalkan ibu kotanya   di Medan, memindahkan lagi  Ibukota Sumatera Timur ke Tigabinanga. Selama 4 bulan memimpin pemerintahan dari Tigabinanga. Kemudian  ibukota Keresidenan Sumatera Timur  pindah lagi ke Padang Sidempuan.
Bupati Kabupaten Karo juga memindahkan ibukotanya ke Tigabinanga dan selama 7 bulan berada disana.Penduduk   Tigabinanga bahu membantu pemerintahan dan Lasykar Rakyat Napindo Halilintar, dalam mendukung perjuangan.  Ibukota Kabupaten Karo. pindah lagi ke Lau Baleng dan kemudian ke Kotacane, sebagimana juga penduduk  mengungsi ke Aceh dan Dairi.
Ibukota Propinsi Sumatera Utara sendiri, terlebih dahulu telah pindah ke Kotaraja (Banda Aceh) dibawah pimpinan Sutan Muh Amin, setelah Kota Medan diduduki serdadu Belanda.Pada waktu itu Aceh adalah masih bagian Propinsi Sumatera Utara.
Atas serangan militer Belanda tersebut, rakyat Karo bangkit melakukan perlawanan dan melakukan pembalasan.Rakyat rela berkorban harta dan nyawa. Terjadi politik bumi di Kabupaten Karo dan  sebanyak 53 Kampung terbakar termasuk sebagian kota Tigabinanga.

2.    Surat Penghargaan dari Wakil Presiden RI

    Wakil Presiden M.Hatta berada di Tanah Karo disekitar peristiwa ini. Beliau awalnya bermaksud menuju  ke Kotaraja, Ibukota sementara Propinsi Sumatera Utara. Akan tetapi karena alasan keamanan, rencana berubah dan beliau memutuskan untuk kembali ke Bukittinggi melalui Tanah Karo. Beliau  menginap di Berastagi dikawal pemuda pejuang sehingga selamat kembali ke Bukit Tinggi. Beliau mendengar bagaimana para pejuang melakukan perlawanan terhadap Belanda  bersama rakyat semesta bahkan dengan membumi hanguskan kampung-kampung Karo  termasuk sebagian kota Tigabinanga.



Tercatat sebanyak 53 kampung musnah  dilalap api yaitu:

1.   Jumaraja
      (Cinta Rakyat);
  2. Keling;
  3. Payong;
  4. Berastepu;
  5. Batukarang;
  6. Sarinembah;
  7. Perbesi;
  8. Kuala;
  9. Kutabangun;
10. Pergendangen;
11. Keriahen;
12. Singgamanik;
13. Kineppen;
14. Munte;
15. Suka;
16. Rumah Kabanjahe;
17. Kabanjahe;
18. Berastagi;
19. Kacaribu;
20. Kandibata;
21. Laubaleng;
22. Susuk;
23. Tiganderket;
24. Kutabuluh;
25. Tanjung;
26. Gurukinayan;

27. Selandi;
28. Kidupen;
29. Gunung Manumpak;
30. Toraja;
31. Selakkar;
32. Rajatengah;
33. Mbang Sibabi;
34. Ajinembah;
35. Tigapanah;
36. Barusjahe;
37. Tigajumpa;
38. Merek;
39. Tengging;
40. Garingging;
41. Ergaji;
42. Barung Kersap;
43. Tanjungberingin;
44. Naman;
45. Sukandebi;
46. Kutatengah;
47. Sigarang-garang;
48. Ndesketi;
49. Gamber;
50. Gruhguh;
51. Sukajulu;
52. Kuta Kepar;
53. Tigabinanga.







Wakil Presiden Republik Indonesia M. Hatta ketika tiba di Bukit tinggi, menulis Surat Pujian berbunyi sbb:
      “Bukittingi, 1 Junuari 1947
 Kepada  Rakyat Tanah Karo Yang Kucintai,

Merdeka !
    Dari jauh kami memperhatikan perjuangan Saudara-saudara yang begitu hebat untuk mempertahankan tanah tumpah darah kita yang suci dari serangan musuh. Kami sedih merasakan penderitaan saudara-saudara yang rumah dan kampung halaman habis terbakar dan musuh melebarkan daerah pertempuran secara ganas, sekalipun cease fire sudah diperintahkan oleh Dewan Keamanan UNO. Tapi sebaliknya kami merasa bangga dengan rakyat yang sudi berkorban untuk mempertahankan cita-cita kemerdekaan kita. Saya  bangga dengan pemuda Karo yang berjuang membela tanah air sebagai putera Indonesia sejati.Rumah yang terbakar boleh didirikan kembali, kampung yang hancur dapat dibangun lagi, tetapi kehormatan bangsa kalau hilang susah menimbulkannya.

Dan sangat benar pendirian Saudara-saudara biar habis segala-galanya asal kehormatan bangsa terpelihara dan cita-cita kemerdekaan tetap dibela sampai saat yang penghabisan. Diatas kampung halaman saudara-saudara yang hangus akan bersinar kemudian cahaya kemerdekaan Indonesia dan akan tumbuh kelak bibit kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Karo, sebagai bagian dari pada Rakyat Indonesia yang satu, tidak dapat dibagi-bagi. Kami sudahi pujian dan berterimakasih kami kepada saudara-saudara dengan semboyan kita yang jitu itu: ”Sekali Merdeka Tetap Merdeka”

Saudaramu,
Mohammat Hatta
Wakil Presiden Republik Indonesia

1.   Tigabinanga menjadi ibukota Kabupaten Karo dan Keresidenan Sumatera Timur

      Pada tanggal 31 Juli 1947, Kabanjahe  diduduki oleh Belanda, dan pusat pemerintahan sementara Kabupaten Karo dipindahkan  ke Tigabinanga. Dibawah Bupati Rakutta Sembiring Brahmana, selama 7 bulan kegiatan  pemerintahan  dilakukan dari Tigabinanga.Tugas yang dilakukan oleh Ngadang Sebayang adalah  menggerakkan rakyat membantu pejuang kemerdekaan seperti Laskar Rakyat yang menjadi kekuatan dan tulang punggung.Kemudian bersama Bupati  mengatur membantu para pengungsi yang mengungsi ke Tigabinanga dan penduduk Tigabinanga dengan ikhlas melakukannya. Pengungsi-pengungsi dari luar yang berjubel di Tigabinanga oleh Ngadang Sebayang ditempatkan di tempat penampungan darurat  yang dibangun di Ruam, dipinggiran kota, dekat dengan Laubengap. Demikian juga menyiapkan  bantuan logistik untuk pengungsi-pengungsi dan pasukan laskar Rakyat. Dalam waktu bersamaan, Tigabinanga juga menjadi Ibukota sementara Sumatera Timur dibawah Residen Abubakar Jaar.Setelah kota Medan diserang, ibukota Keresidenan Sumatera Timur dipindahkan ke Tebing Tinggi.Dan setelah kota Tebing Tinggi diduduki Belanda, ibukota dipindahkan lagi ke Tigabinanga,untuk  selama 4 bulan. Kemudian dipindahkan lagi ke Padang Sidempuan. Demikian juga Ibukota Kabupaten Karo  pada tanggal 25 Nopember 1947,  dipindahkan lagi ke Laubaleng dan selanjutnya ke Kotacane.

2.   Negara Sumatera Timur (NST)

      Setelah wilayah Keresidenan Sumatera Timur ditinggalkan oleh Pemerintah RI, pada  tanggal 25 Desember 1947, Belanda membentuk Negara Sumatera Timur (NST). Sebelumnya, pada tanggal 8 Oktober 1947, Belanda mendeklarasikan terbentuknya Daerah Istimewa Sumatera Timur (DIST) dibawah Dr. Tengku Mansyur dengan memanfaatkan elemen anti republik yang ada dikalangan bangsawan Melayu dan sebagian Raja-raja Simalungun serta beberapa Kepala Suku Karo. Mereka semua merasa kedudukannya terancam dengan berdirinya Negara baru yaitu Republik Indonesia. Perasaan ini muncul karena pada masa awal kemerdekaan terdapat pengalaman pahit dengan tekanan kaum muda pro Republik yang sangat anti bangsawan dan kemapanan. Pada tanggal 3 Maret 1946 terjadi  penangkapan atas pejabat swapraja, 17 Rajaurung dan Sibayak  di tahan di Berastagi dan kemudian dipindahkan ke Aceh Tengah dan  sistem swapraja dinyatakan  dibubarkan.Ngerajai Sembiring Meliala, yang diangkat Pemerintah Militer menjadi swapraja Tanah Karo sejak tahun 1943,  dan menjadi kepala pemerintahan pertama pada awal  kemerdekaan, ikut ditangkap.Untuk menghidarkan kekosongan pemerintahan diangkat pejabat militer di Berastagi, Mayor Nurdin sebagai pejabat Bupati sampai Rakutta Sembiring Brahmana terpilih menjadi Bupati Karo pada tahun 1946.  (Google Wikipedia).

       Setelah terbentuk, Pemerintah Negara Sumatera Timur (NST) mengangkat "Bupati” Kabupaten Karo yaitu Raja Kelelong Sinulingga (1947-1949) dan Rejin Perangin-angin (1950). Demikian juga halnya dengan pejabat-pejabat bawahannya, seperti “Wedana”, “Camat” dan “Kepala Kampung” di Kapupaten  Karo. Di wilayah Tigabinanga, diangkat “Wedana” Tigabinanga, “Camat” Tigabinanga, dan “Kepala Kampung” Tigabinanga, yang pro federal, pada hal pejabat Republik  masih ada dipengasingan.

       Dalam pada itu, terjadi perundingan antara Pemerintah Indonesia dan Belanda. Pada tanggal 17 Januari 1948 ditandatangani “Perjanian Renville” yang menetapkan Garis demarkasi Van Mook.  Isinya antara lain agar kantong-kantong gerilya TNI harus mundur ke daerah  Aceh dan Tapanuli. Batas Garis demarkasi itu untuk Tanah Karo adalah  Lau Pakam yang berbatasaan dengan Aceh dan Lau Renun Laupetundal berbatasan dengan Dairi. Belanda bermaksud untuk menguasai seluruh wilayah Kabupaten Karo sebagai bagian NST.Keinginan tersebut tidak sepenuhnya berhasil  karena pertahanan yang dibuat Resimen 1 di Lau Lisang yang tidak dapat ditembus oleh serdadu Belanda.

      Sebagai mana diterangkan sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Karo yang Republik tetap ada walaupun    beberapa  kali mengalami perpindahan ibukota:  Pada tanggal 31 Juli 1947 pindah ke  Tigabinanga,   tanggal 25 November 1947  pindah ke Laubaleng,  tanggal 5 Pebruari 1948 pindah ke Kutacane. Pada  tanggal 14 Agustus 1949 pindah  ke Tiganderket, berarti masuk ke Tanah Karo. Terjadilah dikotomi antara pro Republik dan pro Federal.  Terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS) pada  tanggal 27 Desember 1949, sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berbentuk Negara Federal dengan melahirkan 3 negara anggota yaitu Negara Sumatera Timur (NST) dan Negara Indonesia Timur (NIT) dan RI Jogyakarta. RIS hanya berumur 8 bulan. Setelah Republik Indonesia kembali berbentuk Negara Kesatuan, pada tanggal 16 Agustus 1950, Ibukota Kabupaten Karo kembali ke Kabanjahe dan Rakutta Sembiring Brahmana tetap menjadi Bupati.

      Pada tanggal 28 Maret 1952 dilakukan pemilihan Kepala Kampung Tigabinanga.Pada waktu itu Kuta Tiberingin digabung dengan kuta Tigabinanga, dibawah satu Penghulu dengan sebutan : Penghulu Tigabinanga & Tigaberingin. Maju menjadi Calon dalam pemilihan, Ngadang Sebayang dan Jakop Tarigan. Dalam pemilihan yang diadakan, terpilih kembali Ngadang Sebayang menjadi Kepala Kampung Tigabinanga & Tigaberingin. Dapat dijelaskan bahwa Ngadang Sebayang nonaktif sebagai Penghulu  sejak tanggal 11 Desember 1947 sampai tanggal 28 Maret 1952, yaitu  selama NST berdiri.

BAB V

GEMPURAN KE NEGARA SUMATERA TIMUR


1.   Pembagian Daerah Pertempuran 1 Mei 1947

     Pada tanggal 1 Mei 1949 di Kotacane, tercapai kesepakatan antara Komandan Sektor III Mayor Selamat Ginting dan Komandan Resimen I Letkol Jamin Gintings tentang Pembagian Daerah Pertempuran bagi masing masing pasukan dalam menghadapi militer Belanda dan Barisan Pengawal NST.

Daerah Pertempuran di Tanah Karo, Deli Serdang dan Cingkes disepakati untuk dibagi  sbb:

1.Daerah Pertempuran dari Resimen I adalah sebelah kiri jalan raya dari Kotacane sampai kota Kabanjahe. Demikian juga jalan raya dari kota Kabanjahe ke Medan.
2.Daerah Pertempuran dari Sektor III adalah sebelah kanan jalan raya dari Kotacane sampai Tigabinanga dan Tigabinanga ke Kabanjahe, dan  seluruh daerah Cingkes

     Pada tahun 1948, sekembalinya dari pengungsian  Ngadang Sebayang bersama keluarga tinggal di Kuala Baru, karena rumahnya di Simpang Tiga ke Juhar, dijadikan Belanda sebagai markas serdadu Belanda. Belanda melakukan isolasi  atas seluruh kota dengan membuat brikade kawat berduri dari semua arah  jalan, dan dijaga  siang dan malam oleh serdadu Belanda. Belanda menyangka, bahwa Tigabinanga akan  aman  dari ancaman dan serangan pasukan RI. Akan tetapi sangkaan ini salah besar. Dengan gagah berani markas Belanda diserang  oleh para gerilyawan semalam suntuk. Terdengar suara tembakan yang dahsyat pada malam itu. Beberapa tahun setelah perang usai, Ngadang Sebayang didatangi oleh keluarga para pejuang, agar dapat menunjukkan letak makam keluarganya yang gugur dalam pertempuran tersebut, dengan maksud agar tulang belulangnya dipindahkan ke kampung masing-masing. Ngadang Sebayang  dengan mudah  menun-jukkan lokasi makam pejuang tersebut , karena  dialah yang memakamkannya dengan baik-baik seusai pertempuran berlangsung. Sungguh mahal kemerdekaan ini ditebus.
  
2.   Pertempuran Bertah 7 Mei 1949

     Pada tanggal 14 April 1949, dengan mengambil tempat di Hotel Des Indes Jakarta, berlangsung perundingan antara delegasi Pemerintah RI dan Belanda. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Menteri Luar Negeri RI, Mr. Moehamamad Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh Dr H. Van Roijen,  Perundingan ini dilakukan atas prakarsa dari PBB dan oleh karena itu P.B.B. ikut memantaunya. Pada tanggal 7 Mei 1949  tercapai kesepakatan dan ditanda tanganilah perjanjian “Roem-Roijen Agreement”,  isinya sbb:
1. Angkatan Bersenjata Indonesia   menghentikan semua  aktifitas gerilya;
2. Pemerintah  RI  akan menghadiri Konperensi Meja Bundar;
3. Pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta;
4. Angkatan Bersenjata Belanda menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tahanan perang”.

    
Tepat pada tanggal 7 Mei 1949, ulangi tepat pada tanggal 7 Mei 1949 justru terjadi pertempuran hebat antara tentara Belanda dan pasukan dari Sektor III di Bertah.
Konvoi Belanda yang  bersenjata lengkap yang datang dari arah Kabanjahe menuju Tigabinanga, dihadang secara heroik oleh Pasukan sektor III dibawah Pimpinan Komandan Batalion Pala Bangun. Terjadi pertempuran yang  hebat  dan legendaris sehingga peristiwa itu   diabadikan dalam:


“Lagu   7 Mei tahun 49” yang liriknya berbunyi :

“tujuh mei, tujuh mei, tahun empat puluh sembilan, serentak    sektor  tiga  melakukan gempuran, kapten pala maju dengan gagah”.
    

Komandan Sektor III, Mayor Selamat Ginting menyatakan  bahwa Pertempuran Bertah adalah  puncak  pertempuran frontal yang pernah dilakukan oleh pasukannya. Hal itu dibenar oleh Letnan Raja Nelah Sebayang, yang menjadi ajudannya.

Sebuah Tugu Peringatan, kemudian didirikan di tepi jalan raya di Bertah menuju Tigabinanga dimana dengan lengkap terukir nama para prajurit yang gugur  dalam pertempuran tersebut.Demikian juga Susunan Organisai dari Sektor III lengkap dengan nama pejabat-pejabat dan pangkatnya.

Satu hal yang amat menyentuh adalah tanggal peristiwanya sendiri  yang bersejarah yaitu tanggal 7 Mei 1949. Persis pada akhir suatu awal dan awal suatu akhir. Suatu peristiwa bersejarah : the threshhold of liberty (“berada diambang pintu sukses”) dari kemerdekaan Indonesia yang amat mahal dan berharga.

1 komentar: